Wacana pemindahan ibu kota negara Indonesia dari Jakarta kembali mengemuka. Namun, sebelum itu dilaksanakan, pemerintah patut memperhatikan beberapa hal. Terutama menyiapkan studi kelayakannya atau feasibility study (FS).
Hal ini bisa dimulai dengan menetapkan ragam skenario, termasuk skenario bila business as usual berjalan terus.
Setelah itu, beberapa variabel yang kemudian harus dianalisa adalah aspek ekonomi, finasial dan teknis yang dilengkapi dengan antisipasi dari dampak distribusional baik sosial, geografi, dan lingkungan.
Selagi FS disiapkan, pemerintah harus berani membekukan parktik jual beli tanah di kawasan yang menjadi bidikan sebagai ibu kota baru.
Sementara, hingga 2020 mendatang Jakarta dan kawasan penyangga lainnya Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi dalam koridor Jadebotabek sudah harus masuk kategori enough is enough.
Cukup bagi pemerintah daerah jakarta dan Bodetabek untuk menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) baru, karena kapasitas lingkungan Jadebotabek sudah berada pada tingkat waspada. Ini akibat penumpukan aktivitas bisnis di kawasan ini selama puluhan dekade.
Karena itu, pemerintah perlu membuat magnet alternatif. Di manakah itu? Silakan dikaji dengan skenario komprehensif.
Sayangnya, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sudah tidak berdaya memobilisasi sumber-sumber daya untuk kajian-kajian skala besar. Padahal, mereka tinggal membuat dan menjalin kerja sama antar lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) dan kampus-kampus di Tanah Air.
Mudah dimafhumi jika akhir-akhir ini kajian proyek-proyek infrastruktur skala besar tumpang tindih, lebih buruk lagi terkatung-katung karena pergantian kekuasaan.
Ini termasuk beberapa agenda megaproyek reklamasi di beberapa lokasi pantai, Jembatan Selat Sunda, kereta api batubara di Kalimantan Tengah, dan lain sebagainya.
Sementara megaproyek lainnya yang sudah masuk tahap konstruksi namun tertunda penyelesaiannya adalah Bandara Kualanamu di Sumatera Utara, Bandara Kertajati di Jawa Barat, dan agenda pembangunan jalan tol di sejumlah wilayah.
Semua ini dikarenakan cekaknya fiskal untuk investasi prasarana publik. Beberapa badan usaha milik negara (BUMN) yang mendapat penugasan, karena target kejar tayang akhirnya bermasalah. Sebut saja Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta, karena perancangan dan konstruksi dilakukan terburu-buru.
Apa pun inisiatif pembangunannya, yang paling krusial saat ini adalah affordability fiscal terutama dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), upaya rekayasa finansial alternatif, seperti PINA dan menambah hutang baru.
Meskipun untuk berhutang, kita selalu dicurigai dan menjadi sorotan publik seperti pembiayaan untuk Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Padahal, kendala fiskal saat ini sudah sangat mengkhawatirkan.
Intinya janganlah terlalu besar pasak daripada tiang. Pasalnya, daftar infrastruktur strategis yang ada saat ini pun belum terang benderang implementasi dan investasinya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.