Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konsumen Terpaksa "Mengunyah" Properti Bermerek Asing

Kompas.com - 29/09/2015, 15:39 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - "Orange County, saya kira itu di California, Amerika Serikat sana. Orang Indonesia suka banget ya pakai nama asing untuk propertinya," ujar Ati Kamil, seorang pembaca sesaat setelah memperhatikan sebuah artikel tentang poyek properti yang berlokasi di Cikarang, Jawa Barat. 

"Orange County" yang digarap Lippo Group hanyalah satu dari sekian banyak proyek properti yang dinamai merek berbau asing. "BSD City" yang dibesut Sinarmas Land Group pun tak lepas dari istilah asing karena diembel-embeli "city". Padahal sebelumnya, nama kota mandiri di kawasan Serpong, Tangerang Selatan, tersebut adalah Bumi Serpong Damai.

Demikian halnya dengan "CitraLand City Losari". Nama asing ini disematkan pada gigaproyek baru seluas 157 hektar, kembangan Ciputra Group di kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Penamaan merek berbau asing pada properti yang dibangun para pengembang kembali marak terjadi dalam satu setengah dekade terakhir. Menurut pengajar Bahasa Indonesia di berbagai instansi, Anwari Natari, fenomena ini terkait erat dengan pergantian pemerintahan. 

Dok Lippo Cikarang Lippo tetap menyiapkan proyek Orange County seluas 322 hektar. Proyek ini dipersiapkan sebagai proyek berkesinambungan di Koridor Timur Jakarta untuk menyatukan ribuan usaha di area segitiga emas kawasan industri Cikarang, yaitu Lippo Cikarang, Jababeka, dan Delta Mas.
"Beda pemerintahan, beda kebijakan. Saat Pak Harto masih menjabat Presiden RI, ada kebijakan untuk menyeragamkan semua produk barang, dan jasa ke dalam bahasa Indonesia. Setelah itu, kebijakan berganti. Pemerintah tidak bisa mengontrol, karena sudah kadung banyak yang menggunakan mereka asing," tutur Anwari kepada Kompas.com, Selasa (29/9/2015). 

Anwari membaca fenomena tersebut tak lebih sebagai kepentingan marketing belaka. Selain itu, para pengembang masih menganggap elegansi identik dengan bahasa asing. Kendati untuk itu, masyarakat terpaksa harus "mengunyah" produk yang ditawarkan pengembang. Perkara kualitas, dan profesionalisme pengelolaan adalah urusan belakangan. 

Halaman:
Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau