"Orange County" yang digarap Lippo Group hanyalah satu dari sekian banyak proyek properti yang dinamai merek berbau asing. "BSD City" yang dibesut Sinarmas Land Group pun tak lepas dari istilah asing karena diembel-embeli "city". Padahal sebelumnya, nama kota mandiri di kawasan Serpong, Tangerang Selatan, tersebut adalah Bumi Serpong Damai.
Demikian halnya dengan "CitraLand City Losari". Nama asing ini disematkan pada gigaproyek baru seluas 157 hektar, kembangan Ciputra Group di kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Penamaan merek berbau asing pada properti yang dibangun para pengembang kembali marak terjadi dalam satu setengah dekade terakhir. Menurut pengajar Bahasa Indonesia di berbagai instansi, Anwari Natari, fenomena ini terkait erat dengan pergantian pemerintahan.
Anwari membaca fenomena tersebut tak lebih sebagai kepentingan marketing belaka. Selain itu, para pengembang masih menganggap elegansi identik dengan bahasa asing. Kendati untuk itu, masyarakat terpaksa harus "mengunyah" produk yang ditawarkan pengembang. Perkara kualitas, dan profesionalisme pengelolaan adalah urusan belakangan.
Sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia tata bahasa Indonesia, Anwari menilai kembali maraknya penamaan produk barang dan jasa dengan bahasa asing, sangat memprihatinkan. Seolah-olah, istilah asing lebih keren dibanding istilah Indonesia.
Namun demikian, dia memafhumi, sah-sah saja bagi pengembang menggunakan istilah asing untuk menjual produknya. Asalkan mereka mampu membawa "mimpi" dari istilah asing itu ke dalam produk properti yang berkualitas.
"Karena pada dasarnya, pengembang menawarkan 'mimpi' kehidupan kota-kota lain di mancanegara untuk 'dibumikan' di Indonesia. Jangan sampai kontradiktif, menamainya dengan 'Orange County' tapi kualitas kehidupan mirip di Ujung Berung dengan kabel-kabel listrik melintang," tandas Anwari.
"Tapi, kenapa tidak? Kami menggunakan istilah asing kan ingin menyatakan bahwa Makassar sebagai lokasi proyek kami berada, juga kota internasional. Dan ini brand, nama, bukan arti," kata Harun.
Sementara Chief Marketing Officer Lippohomes, Jopy Rusli, tak menampik, penamaan istilah asing "Orange County" pada proyek terbaru perusahaannya adalah sebagai trigger atau pemantik untuk meraup penjualan lebih banyak.
Dan itu terbukti saat proyek seluas 322 hektar tersebut terjual sebanyak dua menara dengan nilai total Rp 900 miliar pada tahun 2014 lalu. Angka lebih tinggi diharapkan dapat terwujud pada tahun ini. Hingga semester pertama saja sudah terjual dua menara dengan nilai total Rp 900 miliar.
"Kami targetkan dua menara lagi akan terjual sebelum 2015 berakhir. Kami harapkan, 'Orange County' mampu berkontribusi sebesar Rp 1,5 triliun," imbuh Jopy.
"Orange County", jelas Jopy, adalah duplikasi daerah yang sama di California sana yang memang merupakan kuali beragam budaya. Ada Jepang, Korea Selatan, China, India, Eropa, dan bahkan Indonesia.
"Kami ingin merujuk pada kawasan yang sudah mapan berdiri. Sementara kalau merujuk pada kawasan di Indonesia kan belum ada. Nah, karena itulah kami membawa konsep yang sukses di sana ke Cikarang," ujar Jopy.
Dengan demikian, tambah Anwari, produk properti yang mengisi pasar Indonesia saat ini tak ubahnya sebagai tontonan sinetron. Pemilik stasiun televisi menjejali penonton dengan tayangan-tayangan berisi mimpi. Sama halnya dengan pengembang yang menawari rumah-rumah dengan konsep berbau mimpi juga.
"Membeli rumah di 'Kota Wisata' misalnya, serasa tinggal di Madrid, Paris, atau Montreal. Karena klaster-klasternya dinamai kota-kota dunia tersebut hahaha," seloroh Anwari.