Ketua Pusat Studi Hukum Properti Indonesia, Erwin Kallo, mengatakan, surat tersebut memiliki banyak kejanggalan dari segi formal dan segi substansi. Jika dilihat dari segi formal, surat tersebut dikeluarkan pada 30 Desember 2014.
"Kalau kita lihat, kop suratnya Kementerian Pera (Perumahan Rakyat). Yang mengeluarkan biro hukum, ditujukan kepada Kepala Kantor BPN DKI," ujar Erwin di Menara Jakarta Design Center, Kamis (4/6/2015).
Di sisi lain, imbuh Erwin, kabinet kerja Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla mulai dilantik pada September 2014. Jokowi kemudian menyatukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Dengan demikian, Kementerian Perumahan Rakyat dinyatakan sudah tidak ada.
Kejanggalan formal lainnya, lanjut Erwin, terlihat pada nomor surat. Di surat tersebut tertera Nomor: 750a/HK.01.03/12/2014. Jika ditandai nomor 750a, maka seharusnya surat tersebut memiliki induk. Dalam pemberian nomor pada surat-surat yang masih satu tema, maka penggunaan "a", "b", "c", dan seterusnya diperbolehkan.
Kejanggalan formal selanjutnya, surat keputusan tersebut dikeluarkan oleh kepala biro.
"Apa iya, kepala biro bisa buat kebijakan surat keluar ke instansi lain? Kalau iya, ini problem tata negara. Kita bernegara ada aturannya. Tidak sembarang orang mengeluarkan surat," kata Erwin.
Erwin kemudian meragukan hal tersebut karena, umumnya, hanya menteri atau pelaksana tugas menteri yang bisa mengeluarkan surat keputusan atau kebijakan. Beda halnya jika surat tersebut dikeluarkan untuk internal.
Sementara itu, kejanggalan substansial terdapat pada isi surat poin kedua bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun tetap berlaku, kecuali ketentuan mengenai fungsi rumah non-hunian. Kedua hal itu dimaknai sebagai sesuatu yang bertentangan.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun mencakup penjelasan soal rusun hunian, non-hunian, dan campuran. Kemudian, memang muncul pertimbangan baru bahwa kantor, mal, dan trade center bukanlah rusun. Oleh sebab itu, pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, elemen rusun non-hunian dihilangkan.
Erwin menjelaskan, meski tidak diatur dalam payung hukum, bukan berarti hal itu bisa dikatakan bertentangan. "Sepanjang tidak ada larangan tegas, maka praktik di lapangan diperbolehkan. Apa kalau tidak diatur, langsung dikatakan bertentangan? Ini pemahaman yang salah," kata Erwin.