Buktinya, hingga semester pertama 2013 berakhir, para pengembang mampu membukukan transaksi penjualan (marketing sales) senilai triliunan rupiah.
PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), meraup penjualan sebesar Rp 4,19 triliun. Jumlah ini melonjak 78,29 persen ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya yakni Rp 2,35 triliun.
Raihan transaksi penjualan tersebut, ditopang oleh sektor residensial di BSD City yang berkontribusi sebesar 82 persen, Kota Wisata dengan 7 persen dan Grand Wisata 5 persen. Sisanya disumbang oleh proyek BSDE lainnya.
Sementara PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) berhasil mencetak transaksi sebesar Rp 3,18 triliun, yang sebagian besar berasal dari proyek-proyek Podomoro City Extension, Metro Park Residence, Borneo Bay Residence dan Vimala Hills.
Disusul oleh PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) dengan nilai penjualan Rp 3 triliun. Proyek perumahan Summarecon Bekasi, dan Summarecon Serpong merupakan kontributor terbesar.
Sedangkan PT Ciputra Surya Tbk (CTRS) mendulang penjualan senilai Rp 2,22 triliun atau telah mencapai 66,6 persen dari target setahun penuh Rp 3,34 triliun. Proyek CitraLand Bagya City Medan memberikan kontribusi penjualan tertinggi dengan angka sebesar Rp 952 miliar.
Menurut Direktur Ciputra Development (induk usaha CTRS), Tulus Santoso, rumah merupakan kebutuhan mendasar dan akan terus dicari oleh pembeli. Pemberlakuan LTV KPR pertama hanya menyebabkan penundaan sesaat, dan tidak menyebabkan pembatalan pembelian. Kalau pun terjadi koreksi penjualan, tak lebih dari 10 persen. Koreksi ini pun dapat tertutupi oleh harga jual rumah yang terus mengalami pertumbuhan.
"Lagipula kami menyediakan produk dengan harga di atas ambang sensitif kalangan yang terkena dampak LTV secara langsung," ujar Tulus kepada Kompas.com, di Jakarta, Selasa (30/7/2013), seraya menambahkan CitraLand Bagya City Medan dipasarkan seharga Rp 530 juta hingga Rp 2 miliar per unit.
Hal tersebut diamini Direktur Keuangan APLN, Cesar de la Cruz. Menurutnya aturan LTV tidak akan berdampak pada kinerja penjualan. Tidak juga mengoreksi harga jual. Sebab, produk-produk APLN diperuntukan bagi kalangan menengah-menengah yang sudah pasti memiliki kemampuan membayar uang muka sebesar 30 persen dari harga jual.
"Harga jual produk yang kami tawarkan berkisar antara Rp 300 juta hingga Rp 1,5 miliar per unit. Kecuali Vimala Hills yang berkonsep resor, telah mencapai harga Rp 1,5 miliar untuk harga terendah," papar Cesar kepada Kompas.com, di Jakarta, Rabu (31/7/2013).
Menariknya, menurut Direktur Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda, tingginya nilai transaksi marketing tersebut bukan disebabkan oleh volume atau jumlah rumah terjual, melainkan karena harga propertinya yang sudah sangat selangit.
"Contohnya di BSD City. Kita tidak akan menemukan rumah baru seharga di bawah Rp 1 miliar. Produk baru yang dipasarkan, harga terendahnya sudah mencapai Rp 2,3 miliar. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi perlambatan laju penjualan. Jika fenomena ini terus terjadi, maka pengembang akan beralih untuk menjual properti dengan harga menengah," tandas Ali kepada Kompas.com, di Jakarta, Jumat (2/8/2013).