JAKARTA, KOMPAS.com - Ikon-ikon dunia bertebaran hingga pelosok desa di Indonesia dan viral di media sosial sebagai obyek wisata dan lokasi swafoto instagramable.
Ikon-ikon dunia macam Menara Eiffel, Big Ben, dan Kincir Angin tersebut direplikasi untuk menarik wisatawan.
Kepada Kompas.com, Urbanis dan juga Anggota Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta Bambang Eryudhawan mengatakan, kemunculan replika ikon wisata dunia hingga pelosok desa ini merupakan bentuk dari krisis identitas dan budaya.
Padahal, Indonesia justru merupakan produsen kebudayaan yang seharusnya memproduksi destinasi wisata dengan konsep yang dibuat sendiri.
"Ikon-ikon yang dibangun hingga pelosok desa itu menandakan kita miskin dan krisis identitas. Kita jadi konsumtif, dan menggampangkan semua cara, artinya ini jadi krisis, sebenarnya krisis kebudayaan," kata Yudha, Kamis (17/12/2020).
Baca juga: Warna-warni Jakarta, Bikin Hilang Konsentrasi dan Sakit Kepala
Dia mencontohkan, negara-negara dunia seperti Belanda dan Inggris memiliki obyek wisata yang dijadikan ikon atau tengara kota.
Namun, bangunan itu merupakan gagasan yang dibuat oleh negara tersebut, bukan replikasi apalagi imitasi.
"Kalau kita pergi ke Senzhen itu ada Wonderwood atau Wonderland. Kayak di Belanda ada juga, miniatur tapi kan itu mereka buat bangunan dengan konsep sendiri," ujar Yudha.
Yudha menyayangkan keberadaan Menara Eiffel di Kampung Sarosah, Lembah Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, dan juga pelosok-pelosok desa lainnya di Indonesia.
Bangunan ikonik asal Perancis itu justru menghalangi pemandangan alam dua bukit Lembah Harau yang ada di belakangnya.
"Masalahnya orang yang mencintai panorama alam yang indah sekarang terusik dengan kehadiran bangunan itu," cetus dia.
Tempat wisata di Kampung Sarosah, dibuka sejak Senin (15/6/2020). Kampung ini menawarkan banyak obyek wisata kekinian yang sengaja dibuat instagramable.
Salah satunya adalah Kampung Eropa yang dihiasi replika Menara Eiffel dan bangunan warna-warni yang mengelilinginya.
Selain Kampung Eropa, di sini juga terdapat Kampung Jepang dan Korea serta sejumlah rumah gadang.
Pengelola kampung wisata ini memberlakukan jam operasional pukul 09.00–17.00 WIB pada hari biasa dan mulai pukul 08.00–17.00 WIB pada akhir pekan.
Harga tiketnya Rp 20.000 per orang untuk masuk ke satu kawasan. Pengelola juga menyediakan tiket terusan seharga Rp 30.000 untuk berkunjung ke area Eropa dan Asian Heritage sekaligus.
Jika ingin menaiki sampan maka pengunjung harus membayar sebesar Rp 20.000 untuk menyewanya.
Sementara sepeda gantung, harganya berada di kisaran Rp 25.000 dan sepeda air dengan harga tiketnya Rp 30.000.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.