JAKARTA, KOMPAS.com - Persaingan antar pusat perbelanjaan (mall) di Surabaya, Jawa Timur, makin sengit.
Mal dengan konsep usang akan terkikis oleh keberadaan pusat perbelanjaan yang lebih baru, ditinggalkan oleh pengunjung yang berakibat pada okupansi yang terus menurun.
Dalam menghadapi persaingan yang ketat ini, pemilik dan pengelola pusat perbelanjaan terus melakukan inovasi melalui langkah peremajaan atau perubahan konsep dengan penekanan pada food and beverages (kuliner).
Strategi lainnya juga diterapkan seperti merelokasi dan mengelompokkan tenant serupa berdasarkan jenis maupun kelas.
Baca juga: Pakuwon, Pengembang Nomor Satu di Indonesia
Beragam strategi itu dilakukan menyusul tingkat kunjungan mal di Surabaya yang berkurang rata-rata 30 persen selama masa pandemi Covid-19.
Tahun ini, Surabaya akan menambah tiga mal baru yakni Lagoon Avenue Sungkono (Laves) dengan area sewa atau nett leasable area (NLA) 12.548 meter persegi, Ciputra World 2 Surabaya seluas 40.000 meter persegi, dan Pakuwon City Mall (East Coast Center 2) seluas 15.000 meter persegi.
Ketiga mal ini akan menambah pasokan ruang ritel kumulatif di ibu kota Jawa Timur ini menjadi 1,20 juta meter persegi hingga akhir tahun 2020, atau naik 5,9 persen secara tahunan.
Menurut Senior Associate Director Research Colliers International Indonesia Ferry Salanto, kendati mal-mal ini telah mendapatkan komitmen dari penyewa, namun tingkat hunian rata-rata diproyeksikan turun menjadi 75 persen pada Semester II-2020.
"Sementara pada Semester I-2020, tingkat hunian masih berada di angka 77 persen," kata Ferry dalam paparan Property Market Outlook secara virtual, pekan lalu.
Baca juga: Mal Masih Sepi, Jumlah Pengunjung di Bawah 40 Persen
Penurunan tingkat okupansi ini tak menghalangi sejumlah pengembang untuk membangun dan membuka pusat perbelanjaan baru.
Bahkan, Ferry memprediksi, pembangunan pusat perbelanjaan baru di Surabaya akan terus tumbuh hingga tahun 2026.
Proyek-proyek mal baru tersebut terkonsentrasi di Surabaya Barat dan Timur sejalan dengan pertumbuhan pembangunan perumahan yang cepat dan ketersediaan land bank di kedua wilayah tersebut.
Penggerak permintaan utama untuk ruang ritel masih didominasi oleh fashion, kecantikan, kesehatan, dan kuliner.
"Kami juga melihat lebih banyak peritel online yang terus membuka toko offline mereka," imbuh Ferry.
Sementara untuk tarif sewa, angka Rp 480.368 per meter persegi per bulan masih bertahan dalam satu tahun terakhir.