Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bernardus Djonoputro
Ketua Majelis Kode Etik, Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP)

Bernardus adalah praktisi pembiayaan infrastruktur dan perencanaan kota. Lulusan ITB jurusan Perencanaan Kota dan Wilayah, dan saat ini menjabat Advisor Senior disalah satu firma konsultan terbesar di dunia. Juga duduk sebagai anggota Advisory Board di Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung ( SAPPK ITB).

Selain itu juga aktif sebagai Vice President EAROPH (Eastern Region Organization for Planning and Human Settlement) lembaga afiliasi PBB bidang perencanaan dan pemukiman, dan Fellow di Salzburg Global, lembaga think-tank globalisasi berbasis di Salzburg Austria. Bernardus adalah Penasehat Bidang Perdagangan di Kedubes New Zealand Trade & Enterprise.

Infrastruktur Pasca-masa Percepatan

Kompas.com - 28/01/2019, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERHATIAN investor global tengah fokus pada perkembangan infrastruktur di Indonesia dan Asia Tenggara karena model pendanaan public private partnership (KPBU) yang terus berkembang.

Ada beberapa isu penting yang akan selalu menjadi perhatian dan tantangan dalam menentukan minat para investor ke Indonesia.

Termasuk didalamnya adalah kualitas persiapan proyek, kejelasan peraturan, dan kepastian hukum, perbaikan kapasitas kelembagaan, dan pengamanan terhadap ekonomi biaya tinggi.

Semua diperlukan untuk memfasilitasi pelaksanaan proyek dan pengoperasian aset serta pemeliharaan baik di tingkat nasional maupun pemerintah daerah.

Dunia sudah melihat kemampuan percepatan pembangunan infrastruktur Indonesia dalam empat tahun terakhir. Namun pertanyaan terus menggantung di mata investor, karena masih dibutuhkan upaya besar untuk mengejar infrastruktur agar Indonesia mencapai 10 besar ekonomi global pada tahun 2025. 

Tantangan tersebut melibatkan percepatan dan perluasan infrastruktur perkotaan seperti sistem angkutan cepat massal (mass rapid transit system), air, konektivitas pelabuhan, jalan, energi, serta infrastruktur sosial seperti rumah sakit.

Para investor besar mulai dari pengelola dan infrastruktur, operator maupun lenders dunia perbankan pun masih menyisakan paling tidak tiga pertanyaan penting yang harus mendapat perhatian pemerintah. 

Pertama adalah, apa yang akan menjadi prioritas kebijakan pemerintah baru nanti, setelah 4 tahun percepatan. Apakah momentum kerja percepatan di antara para kementerian teknis akan terus berlanjut dengan irama seperti saat ini?

Jembatan Klodran di Tol Solo-KertosonoRODERICK ADRIAN MOZES/Kompas.com Jembatan Klodran di Tol Solo-Kertosono
Kedua, pentingnya aspek kemampuan fiskal para PJPK atau pemerintah daerah maupun kementerian terkait dalam membiayai cicilan kontrak Availability Payment jangka waktu konsesi.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Menteri Keuangan menetapkan Batas Maksimal Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setiap tahun, diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 117/PMK.07/2017 tentang Batas Maksimal Kumulatif Defisit APBD ditetapkan sebesar 0,3 persen dari proyeksi PDB.

Dari 500 lebih kota dan kabupaten, dengan memperhitungkan batas maksimal tersebut maka kemampuan kota-kota Indonesia dalam memenuhi kebutuhan infrastruktur sangat terbatas.

Kota-kota besar kecuali Jakarta, hanya memiliki kemampuan sangat terbatas, sehingga hampir pasti memerlukan keterlibatan sumber-sumber keuangan di pemerintah pusat baik melalui kementerian teknis maupun sumber yang inovatif.

Ketiga, pemerintah baik pusat maupun daerah sudah waktu nya menangkap peluang inovasi pembiayaan yang di inisiasi swasta melalui proposal un-solicited.

Sistem pengadaan barang dan jasa Kerjasama Publik dan Badan Usaha melalui Perka LKPP pun sudah mengenal tata cara menerima proposal unsolicited atau prakarsa badan usaha.

Pasalnya, masih banyak pihak yang masih enggan atau curiga kepada pola kerja sama ini.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau