Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Usai Pailit, Peritel Bali Ini Dihadapkan pada Utang Pajak

Kompas.com - 04/12/2017, 08:58 WIB
Dani Prabowo

Penulis

 

DENPASAR, KompasProperti - Sejak diputuskan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya sejak 9 November 2017, pendiri jaringan ritel di Bali, Hardys, Gede Hardiawan, kini dihadapkan pada piutang pajak dengan angka fantastis.

Piutang tersebut diketahui saat Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya Denpasar memeriksa tahun pajak 2011 pada April 2015 dan tahun pajak 2012 pada tahun berikutnya.

Dari hasil pemeriksaan, didapati temuan bahwa Hardys masih kurang bayar Rp 22 miliar.

"Dari total temuan tersebut, Hardys telah membayar Rp 7 miliar pada akhir 2015 yang diangsur bertahap," kata kuasa hukum Hardi, Cuaca, seperti dikutip dari Tribun Bali, Minggu (3/12/2017).

Sementara untuk tahun 2016 berjalan, Cuaca menambahkan, Hardys sama sekali tidak mampu membayar pajak.

Akibatnya, muncul tunggakan pada Mei 2017 dan terbitnya surat perintah bukti permulaan lantaran adanya dugaan indikasi melanggar tindak pidana pajak.

Bukti permulaan yang dimaksud adalah untuk tiga tahun terakhir yaitu 2014-2016, dengan pajak dihitung terutang Rp 44 miliar. Sementara, pada 2013 likuiditas Hardys baik dan diyakini bisa membayar pajak.

"Namun ternyata pemeriksaan baru dilakukan tahun 2015/2016, ketika ekonomi sedang down dan Hardys mengalami masa sulit," kata dia.

Sesuai aturan di dalam bukti permulaan, Hardys akan dikenakan sanksi 150 persen sehingga muncul tagihan pajak Rp 105 miliar.

Setelah itu muncul surat perintah penyidikan, dan sesuai aturan sanksi yang harus dibayar yakni 400 persen dari total pajak terutang.

Proses ini dipertanyakan Cuaca. Menurut dia, seharusnya bukti permulaan ditetapkan dan bisa dikeluarkan jika ada pemeriksaan lapangan tahun pajak yang tertera di dalamnya.

Cuaca mengatakan, pemeriksaan bukti permulaan boleh dilakukan setelah adanya pemeriksaan terlebih dahulu.

Namun prosedur pemeriksaan ini yang terlewati, dan penyidik pajak langsung ke bukti permulaan (buper) tanpa melewati tahap pemeriksaan.

"Kalau cara ini dipakai, berarti KPP menghilangkan hak-hak wajib pajak untuk melaporkan sendiri SPT-nya. Apalagi ada sanksi 150 persen, dan jika tidak dibayar maka wajib pajak bisa dikenakan lagi sanksi 400 persen apabila kasusnya dinaikkan ke penyidikan pidana pajak,” tutur Cuaca.

Sebelum bukti permulaan dilayangkan, ia mengatakan, semestinya ada pemberitahuan terlebih dahulu. Bila tidak ditanggapi, barulah ditindaklanjuti dengan pemeriksaan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com