Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 01/06/2016, 09:14 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Meski kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) melawan Nelayan yang menggugat Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta kepada PT Muara Wisesa Samudra, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tetap ngotot akan melanjutkan reklamasi.

Baca: Ahok Ingin Tunjuk Jakpro Reklamasi Pulau G

Ahok menilai, putusan PTUN Jakarta, yang memenangkan gugatan nelayan atas izin pelaksanaan reklamasi Pulau G, belum berkekuatan hukum tetap. 

Dalam pandangannya, putusan PTUN tidak melarang adanya kegiatan reklamasi Pulau G. Karena itu, ia berencana akan mengalihkan tanggung jawab pelaksanaan reklamasi Pulau G ke salah satu BUMD milik Pemerintah Provinsi DKI, yakni Jakarta Propertindo.

Ahok pun menilai, proyek reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta tidak serta merta bisa dihentikan. Menurut dia, proyek reklamasi pulau tersebut masih bisa dilanjutkan oleh perusahaan lain.

Terhadap hal ini, Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana (IAP) Bernardus Djonoputro berpendapat Ahok dan aparat birokrasinya tidak bisa sembarangan melaksanakan urugan dan pembangunan reklamasi.

"Ahok tak bisa sembarangan mengurug Teluk Jakarta. Karena nyatanya, di persidangan PTUN terkuak bahwa pelaksanaan reklamasi Pulau G dari seluruh aspek, baik perencanaan detail, Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), dan aspek teknisnya masih belum memenuhi seluruh aturan main yang ada," tutur Bernardus kepada Kompas.com, Selasa (31/5/2016).

Putusan PTUN tersebut, lanjut Brenardus, memperlihatkan ada yang salah dengan proses perencanaan yang tidak sinkron dengan perizinan. Selain itu, proses rencana reklamasi ini memang sangat mengundang kritik secara teknis.

Bernardus menilai, dikabulkannya gugatan warga, juga memperlihatkan bahwa tata ruang bukan hanya permasalahan Ahok dan Jakartanya saja, melainkan Indonesia secara umum yang harus memperkuat proses perencanaannya.

KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG Suasana proyek pembangunan reklamasi Teluk Jakarta di kawasan Pantai Utara, Jakarta Utara, Rabu (11/5/2016). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menghentikan sementara proyek reklamasi Pulau C, D, dan G, lantaran dinilai melanggar izin dan perundang-undangan mengenai lingkungan hidup.
Pergunakan kesempatan moratorium ini oleh Presiden meminta pendapat Panel Ahli Independen untuk menghindari dampak sistemik terhadap kepastian hukum, kepastian usaha, rasa keadilan dan keberlanjutan lingkungan.

"Sedikit terlambat tidak apa apa daripada tidak sama sekali. Kalau para menteri semua terdiam dan membiarkan, maka Presiden segeralah yang harus berdialog dan meminta pendapat para ahli." tambah Bernardus.

Secara aturan perencanaan, reklamasi memang sudah ada di dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW), dan sudah melalui berbagai proses perencanaan.

Dari sisi proses perencanaan, reklamasi dilihat sebagai keseluruhan area Teluk Jakarta di 17 pulau tersebut, yang sudah masuk dalam RTRW dan RDTR. Jadi legitimasi dari program reklamasi sudah selesai.

Selanjutnya masalah perizinan, maka sebenarnya gambar rencana yang ada dalam RTRW wajib didetailkan dalam rencana detail tata ruang dan peraturan zonasi (RDTR-PZ), serta diikuti dengan Amdal Regional atau kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dan per persil development.

Karena itu, kata Bernardus, reklamasi yang sejatinya merupakan wilayah kerja dan kewenangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) harus segera ditinjau kembali.

"Kebijakan proses perencanaan bukan hanya di Pulau G, tapi di semua pulau reklamasi," sebut Bernardus.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau