Namun, konsekuensi logis dari kemajuan kota ini adalah konversi besar-besaran terhadap lahan pertanian, terutama persawahan produktif. Hal ini diakui Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pemerintah Kota (Pemkot) Tangsel, Dedi Rafidi.
"Ya kami mengakui, konsekuensi logis dari masifnya pembangunan adalah menyusutnya lahan pertanian, terutama persawahan produktif," ujar Dedi kepada Kompas.com, Selasa (4/8/2015).
Menurut Dedi, area persawahan yang tersisa di Tangsel saat ini kurang dari 200 hektar dari total luas wilayah 147,19 kilometer persegi. Padahal sepuluh tahun lalu, masih ribuan hektar. Penyusutan terjadi karena lahan persawahan produktif sudah dikuasai pengembang-pengembang besar. Jadi, kata Dedi, sulit untuk mengembalikan lahan tersebut kepada fungsinya semula.
Namun begitu, lanjut Dedi, Pemkot Tangsel tetap berupaya menambah, dan mengembangkan lahan pertanian perkotaan (urban farming), melalui skema budidaya. Jenis tanaman yang dibudidayakan adalah anggrek. Karena itu, anggrek dijadikan sebagai lambang kota.
Pertumbuhan ekonominya, klaim Dedi, sebesar 8,48 persen atau melampaui pertumbuhan ekonomi nasional. IPM-nya mencapai 77,13. Pencapaian di sektor pendidikan, lanjut Dedi, adalah buah dari program rasio 1:32. Artinya, satu ruang kelas hanya diisi oleh 32 siswa. Alhasil, tingkat rerata lama sekolah warga Tangsel adalah 9,95 tahun.
"Kami mengalokasikan Rp 250 miliar sebagai anggaran pendidikan, termasuk subsidi untuk sekolah negeri dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas," tambah Dedi.
Sementara itu, di sektor kesehatan, Pemerintah Kota Tangsel menganggarkan dana Rp 200 miliar untuk mengembangkan 35 puskesmas gratis. Semua warga Kota Tangsel dapat mengakses layanan kesehatan gratis, termasuk rawat inap. Fasilitas itu bisa diperoleh hanya dengan bekal KTP dan kartu keluarga.
Saat ini, baru ada 25 puskesmas yang memberikan layanan kesehatan gratis ini. Ke depan, 35 puskesmas, sesuai target, diharapkan dapat mendukung layanan kesehatan gratis.