JAKARTA, KOMPAS.com - Ketersediaan lahan dengan harga murah menjadi tantangan terbesar dalam pengembangan hunian (apartemen) berbasis transit oriented development (TOD).
Advisory Sales Colliers International Indonesia Monica Koesnovagril mengungkapkan hal itu kepada Kompas.com saat ditanya fenomena apartemen dengan gimmick TOD.
"Pemerintah masih menghadapi tantangan sangat berat ya, yaitu ketersediaan lahan. Sementara di sisi lain, ketersediaannya terbatas. Kalau pun ada harganya mahal," ujar Monica.
Selain itu, lanjut dia, tantangan lainnya adalah sinkronisasi rancangan induk hunian berbasis TOD dengan rancangan induk wilayah di mana pengembangan baru ini berada.
Pengembang, atau pihak-pihak yang akan membangun hunian berbasis TOD, harus mendasarkan pada rancangan tata ruang wilayah (RTRW), dan rencana detail tata ruang (RDTR).
Baca juga: Apartemen Mewah Para Sultan, Investor Asing, dan Daya Saing Jakarta
Hal ini agar terjadi kesesuaian, kelarasan, ketertiban, dan tujuan serta prinsip TOD itu sendiri terwujud.
"Karena pada prinsipnya pengembang TOD adalah mengintegrasikan seluruh aspek, meminimalisasi penggunaan transportasi pribadi, ramah lingkungan, dan yang terpenting mengubah perilaku penghuni," tutur Monica.
Mengacu pada prinsip ini, imbuh dia, tak heran jika sampai sekarang belum ada satu pun pengembangan di Indonesia, terutama Jakarta dapat disebut sesuai dengan prinsip TOD.
Di sini dibutuhkan peranan pemerintah, termasuk dalam hal pengadaan tanah. Pemerintah harus menjadi regulator sekaligus pengawas implementasi pembangunan hunian berbasis TOD.
"Pemerintahlah yang seharusnya memiliki dan menguasai lahan, sehingga bisa mengatur apa dan bagaimana hunian TOD ini. Terlebih jika ingin mewujudkan program Sejuta Rumah, yang sebagian besar untuk masyarakat kalangan bawah," tambah Monica.
Baca juga: Pengembangan Kawasan TOD Seharusnya Mempersempit Area Kendaraan Pribadi
Hal senada dikatakan Senior Associate Director Colliers International Indonesia Ferry Salanto. Menurut dia, fundamen TOD adalah time travel, bukan lagi jarak tempuh.
"Jika apartemen berbasis TOD dibangun dengan penekanan pada waktu tempuh, maka akan banyak diminati. Jarak tempuh bukan lagi pertimbangan utama," kata Ferry.
Terbukti, hunian dengan gimmick berbasis TOD yang masuk pasar saat ini tidak menunjukkan kinerja penjualan signifikan, alias sama saja dengan apartemen biasa tanpa gimmick TOD.
Pasalnya, hunian-hunian tersebut dibangun tidak mengacu pada prinsip TOD.
Secara umum, Colliers mencatat hingga akhir Semester I-2020, penjualan apartemen terbilang stagnan.
Karena itu, harga permintaan rata-rata pun tidak mengalami perubahan besar, hanya Rp 50.000 menjadi Rp 34,95 juta per meter persegi.
Kondisi inilah yang memaksa sebagian besar pengembang memutuskan tidak melakukan perubahan harga karena unit mereka akan menjadi lebih tidak terjangkau jika menaikkan harga.
"Terlebih saat kondisi krisis akibat Pandemi Covid-19," kata Ferry.
Baca juga: Harga Apartemen di Jakarta Stagnan
Dalam hal pembayaran, pengembang terbuka untuk persyaratan yang lebih fleksibel saat ini. Sebelumnya, pengembang menerapkan aturan ini dalam segmen tenor, dan angsuran uang muka yang diperpanjang.
Beberapa pengembang juga menawarkan tiga bulan gratis angsuran setelah biaya pemesanan, dan memberikan lebih banyak diskon dengan menghapus uang muka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.