SELAMA 14 hari ke depan mulai Jumat 10 April 2020, pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan pertama kali di Jakarta dan juga di Indonesia.
Bagi yang melanggar batasan aktivitas transportasi akan dikenakan pidana kurungan (penjara) atau denda uang sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Kita berikan apresiasi pada Menteri Kesehatan yang tetap konsisten melaksanakan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Walaupun ada permintaan dari Gubernur DKI Jakarta tentang perkecualian bagi pengemudi ojek online atau daring (ojol) dapat membawa penumpang.
Gubernur DKI Jakarta Anis Baswedan juga konsisten menetapkannya dalam Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Aturan ini dibuat dengan merujuk Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020.
Sebelumnya, sudah ada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Pasal 15 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 menyatakan, bahwa ojek daring hanya boleh beroperasi mengangkut barang, bukan orang.
Sesungguhnya, permintaan supaya pengemudi ojek daring untuk tetap dapat membawa penumpang sangat jelas melanggar esensi dari menjaga jarak (physical distancing).
Ketentuan pembatasan penumpang pada kendaraan bermotor saat PSBB sudah diatur. Untuk sepeda motor kapasitas tempat duduk 2 orang, jumlah yang boleh diangkut 1 orang (hanya pengemudi, dilarang berboncengan).
Mobil penumpang sedan kapasitas 4 orang dizinkan paling banyak 3 orang, satu pengemudi dan dua orang dibelakang.
Mobil penumpang bukan sedan kapasitas 7 penumpang, dibolehkan 1 pengemudi, 2 penumpang tengah dan 1 penumpang belakang.
Dan untuk bus dengan kapasitas lebih dari 7 orang, diberikan maksimal 50 persen dari kapasitas angkut.
Tentunya jika permohonan dari Gubernur DKI Jakarta dikabulkan, akan membuat iri pengguna sepeda motor lain.
Dan nantinya akan berpengaruh pada masa Mudik Lebaran yang masih menetapkan pembatasan kapasitas kendaraaan bermotor yang boleh mengangkut penumpang.
Bagi yang melanggar akan dikenakan Pasal 92 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan mengatakan, Pengemudi Kendaraan Darat yang menurunkan atau menaikkan orang dan/atau Barang sebelum dilakukan pengawasan Kekarantinaan Kesehatan dengan maksud menyebarkan penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda maksimal sebanyak Rp 15 miliar.
Di samping itu, tidak ada jaminan dari aplikator terhadap pengemudinya yang melanggar protokol kesehatan saat beroperasi.
Meskipun aplikator sudah menyiapkan sejumlah aturan untuk pengemudi ojek daring selama mengangkut orang.
Pasalnya, selama ini aplikator juga belum mampu mengedukasi pengemudinya yang masih kerap melanggar aturan berlalu lintas di jalan raya.
Tingkat pelanggaran pengemudi ojek daring cukup tinggi (seperti melawan arus, menggunakan trotoar, melanggar isyarat nyala lampu lalu lintas) dan cukup rawan terjadi kecelakaan lalu lintas.
Jika aplikator berniat akan membantu meringankan beban hidup para pengemudi ojek daring dan taksi daring, pemotongan setiap transaksi tidak lagi 20 persen tetapi dapat dikurangi hanya lima persen saja atau menghilangkan pemotongan itu lebih baik.
Pengusaha angkutan bus (AKAP, AKDP dan Pariwisata), truk, angkutan travel dan taksi reguler pada kondisi seperti ini (pandemi virus Corona) masih memberikan perhatian dengan cara bantuan sembako kepada awak kendaraan, teknisi serta pegawai lainnya.
Hubungan antara pengusaha dengan pengemudi adalah kemitraan. Jika tidak bekerja tidak menerima penghasilan.
Namun, mereka itu sudah dianggap seperti bagian keluarga perusahaan. Padahal kalau melihat besaran keuntungan yang diperoleh pengusaha transportasi umum itu lebih kecil ketimbang aplikator transportasi daring.
Ini hanya masalah kepedulian pada pegawainya yang selama ini telah menjadi mesin pengumpul uang bagi perusahaan.
Sekarang ini, justru beberapa instansi pemerintah di pusat hingga di daerah serta kelompok masyarakat yang lebih dulu memberikan bantuan hidup.
Misalnya, Pemprov. Jawa Tengah memberikan makan siang bagi kelompok informal (terbanyak yang menerima berasal dari pengemudi ojek daring) selama dua minggu di Semarang.
Demikian pula hal yang sama diselenggarakan Institut Studi Transportasi (Instran) bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat di beberapa ruas jalan dan terminal penumpang dan di Jakarta.
Pula masih banyak kelompok masyarakat maupun individu yang peduli.
Taat aturan dan kepedulian sesama sangat diperlukan. Saatnya aplikator peduli nasib mitranya yang selama ini sebagai mesin pencari uang, namun realitanya pratek perbudakan modern.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.