KETIKA kita diwajibkan untuk melakukan pembatasan sosial atau social distancing karena pandemi virus Corona, fenomena kepadatan angkutan massal terjadi lagi hari ini, Senin 23 Maret 2020 di commuter line (KRL).
Padahal, peristiwa chaos serupa sudah lebih dulu terjadi seminggu sebelumnya yakni Senin 16 Maret 2020 di angkutan BRT Trans Jakarta, dan MRT Jakarta.
Dua kejadian tersebut bisa dibilang gagal social-distance karena pengurangan jam operasi dan pengurangan sarana bus dan kereta yang dioperasikan.
Hari Senin ini, jam operasional seluruh lintas/rute KRL adalah mulai pukul 06.00-20.00 WIB, PT Kereta Api Indonesia (KAI) mengoperasikan 713 perjalanan KRL Jabodetabek dari normal 991 perjalanan dan waktu pukul 04.00 hingga 24.00 WIB.
Terdapat pengurangan sebanyak 29 persen perjalanan KRL. Headway KRL juga lebih panjang 10-15 menit dari sebelumnya 5-10 menit.
Membeludaknya pengguna KRL ini sangat logis karena penumpang yang biasanya berangkat pukul 04.00 WIB pagi kini harus berkumpul pukul 06.00 WIB.
Otomatis terjadi penumpukkan di peron dan di perjalanan kereta. Jadwal perjalanan juga berkurang dengan headway bertambah lama membuat kondisi tidak nyaman baik secara keselamatan dan secara kesehatan dalam mengurangi virus.
Sangat ironis apabila perjalanan angkutan umum dikurangi namun pekerja formal masih tetap bekerja. Terutama bagi pengguna KRL dari jauh seperti Bogor dan Rangkasbitung.
Namun, akhirnya kebijakan pengurangan jam perjalanan tersebutkan dibatalkan. Perjalanan kembali normal Senin sore ini mulai pukul 15.00 WIB sampai pukul 24.00 WIB.
Kebijakan ini ditempuh setelah melihat kepadatan luar biasa di stasiun dan perjalanan kereta, sehingga bisa dikatakan social-distance yang diharapkan pemerintah gagal total hari ini.
Mengutip BBC, National Health Service mengatakan penyebaran virus Corona bisa melalui kontak selama lebih dari 15 menit dan berada dalam jarak 2 meter dari orang yang terinfeksi.
Sementara dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM) KA, kepadatan penumpang diizinkan dalam area 1 meter persegi boleh terisi 6 orang.
Barangkali bila melihat kejadian Senin pagi, area 1 meter persegi bisa terisi lebih dari 6 orang.
Dengan melihat kejadian tadi pagi sangat rentan terkena infeksi virus, karena secara umum masyarakat menggunakan KRL lebih dari 15 menit.
Apabila dalam jarak 2 meter, ada salah satu penumpang terkena virus, secara matematis akan terkena (((2 + 2) x (2 x 2)) x 6 ) = 96 orang, angka yang sangat mengerikan untuk pandemi virus.
Persoalan ini akibat kebijakan trial and error mengurangi angkutan massal, dan tidak adanya sinkronisasi kebijakan hulu dan hilir (secara makro).
Artinya masih sangat berbahaya metodetrial and error ini apabila masih dipaksakan oleh pemerintah tanpa didukung oleh data-data yang signifikan.
Virus Corona jenis baru (SARS-CoV-2) yang memicu penyakit Covid-19 saat ini telah menyebar ke berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia.
Saat tulisan ini dibuat, kasus positif terkena virus corona sesuai data pemerintah adalah 514 orang, sembuh 29 orang dan meninggal 48 orang. Angka terbanyak di DKI Jakarta. \
Angka kematian di Indonesia menjadi 9,4 persen dibandingan Italia 7,94 persen, Iran 6,53 persen, dan China 4 persen.
Banyak penelitian mengatakan penyebaran virus apapun bisa terjadi salah satunya di angkutan umum.
Di Italia, contohnya, tercatat lebih dari 4.800 orang telah meninggal dan lebih dari 53.000 orang terinfeksi. Hal ini karena angkutan massal, salah satunya di Milan, masih berjalan normal.
Kalau melihat persentase kematian di atas, tentunya semua stakeholder harus berpikir keras lagi untuk tidak meniru kejadian di Italia yang masih sangat bebas berinteraksi di angkutan umum.
Memang tepat untuk mengurangi penyebaran virus Covid-19 dengan mengurangi perjalanan angkutan umum atau menutup angkutan umum sama sekali.
Karena kebijakan tersebut sudah tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.
Disebutkan bahwa karantina suatu wilayah yang luas atau pembatasan sosial dalam skala besar harus diberlakukan.
Sebaliknya apabila tidak ada karantina wilayah angkutan umum tidak bisa serta merta ditutup, atau dibatasi.
Pemerintah wajib menyediakan angkutan umum sesuai SPM yang berlaku. Pemerintah akan berhasil mengurangi jumlah perjalanan apabila didukung data-data peak-hour, rush-hour pengguna dan asal-tujuan (OD) pengguna angkutan umum yang masih bekerja.
Tanpa data-data tersebut mustahil bisa tercipta social-distancing yang nyaman. Apabila tidak ada kebijakan karantina wilayah, imbauan pemerintah tidak akan berhasil apabila sektor swasta masih aktif bekerja.
Sekali lagi, Pemerintah tidak bsia lagi membuat kebijakan trial and error mengurangi angkutan umum massal yang akan berakibat blunder dan menambah persebaran virus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.