BAGI praktisi dan pelaku usaha infrastruktur, termasuk pembangunan perkotaan, diskursus tentang RUU Cipta Kerja mengerucut pada isu rencana pemerintah membentuk Sovereign Wealth Fund (SWF).
Ini merupakan sebuah ide yang kelihatannya cukup logis jika dikaitkan dengan keterbatasan ketersediaan dana APBN untuk membangun infrastruktur nasional saat ekonomi Indonesia melebihi 1 triliun dollar AS.
Namun persoalannya, alih-alih untuk proyek greenfield sebesar Ibu Kota Negara (IKN), penyediaan infrastruktur dasar dalam program Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan program prioritas pun masih penuh tantangan penyediaan dana.
Kita mafhum bahwa tingkat daya saing negara juga harus menjadi refleksi dari peradaban bangsa dalam sistem perekonomiannya.
Kemampuan memanfaatkan dana hasil kelebihan pendapatan negara, menjadi salah satu nilai tambha suatu sistem ekonomi.
SWF menjadi bagian penting ekonomi di beberapa negara seperti Norwegia, Kanada, Arab Saudi dan lain lain, ketika kelebihan "dana cadangan" pemerintah dimanfaatkan dalam kegiatan investasi yang memberi manfaat bagi warganya dan bagi perkenonomian secara keseluruhan.
Pertanyaan mendasar bagi Indonesia saat ini adalah bagaimana menyeimbangkan antara kebutuhan mendesak sumber pembiayaan, dengan kebutuhan BUMN infrastruktur untuk "memperlonggar" nafas setelah selama ini melakukan percepatan pembangunan melalui penugasan.
Bentuk pengelolaan dengan azas sui generis, memungkinkan pengaturan diri sendiri yang bukan tanpa risiko.
Dan tentunya, penting kita mengetahui berapa sebenarnya riil ketersediaan dan kondisi cadangan uang kita?
Faktor risiko menjadi isu penting, dan tentunya aspek kapasitas manajemen serta aturan-aturan pelaksana yang kuat.
Kawan baik saya Edward Gustely, ahli finansial yang juga mantan penasihat senior empat menteri keuangan kita, mengingatkan bahwa Indonesia sudah pernah punya SWF versi pertama.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melakukan suntikan modal yang dikelola oleh biro dibentuk khusus, Unit Investasi Pemerintah (Pusat Investasi Pemerintah, atau PIP). Edward menyebutnya inilah SWF versi 1.0.
Dana PIP digunakan untuk mendukung proyek-proyek prioritas nasional, Lembaga Keuangan Infrastruktur Indonesia yaitu PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dan anak usahanya PT IIF, dana penjaminan infrastruktur, dan pembiayaan akuisisi tanah.
PIP menjadi katalis penyaluran investasi asing seperti Dana Investasi Hijau Indonesia dan Dana Cleantech yang diluncurkan selama KTT Perubahan Iklim PBB (COP-15, Kopenhagen).
Vakumnya PIP tahun 2015, ditandai dengan penyerahan dana investasi BLU-PIP ke PT SMI senilai Rp 18 triliun, atau hanya kira-kira 1,5 miliar dollas AS.
Selanjutnya BLU PIP diberikan peran baru menjadi coordinated fund untuk pembiayaan KUR bagi UMKM tailor made, dengan dana investasi Rp 1,5 triliun pendamping 300.000 UMKM.
Lalu apa yang terlihat di depan kita dengan adanya rencana SWF dalam RUU Cipta Kerja?
Sejatinya berdasarkan berbagai referensi, SWF adalah pengelolaan dana investasi pemerintah, yang berasal dari hasil keuntungan ekspor sumber daya alam, deviden keuntungan BUMN, atau hasil privatisasi.
Dana kelolaan ini lebih memilih keuntungan pengembalian, daripada likuiditas. Dengan demikian seharusnya cenderung prudent dalam investasi dan pengambilan risikonya.
Beberapa model beredar dalam pembicaraan teman-teman praktisi, semisal model Russian Direct Investment Fund (RDIF) Rusia, pemerintah menjadi co-investor dana-dana investor asing yang masuk ke proyek-proyek prioritas negara.
Contoh lain, tahun 2018 Sovereign Wealth Fund Institute memperlihatkan betapa "besar"-nya SWF seperti Uni Emirat Arab yang senilai 683 miliar dollar AS.
Namun yang terbesar dan paling transparan asalah Norwegia yang SWF-nya lebih dari 1 triliun dollar AS, sebesar ekonomi Indonesia!
Lalu, SWF kita akan seperti apa kali ini?
Tengok Abu Dhabi Investment Authority yang berdiri sejak 1976. Seperti dilaporkan Asian Wall Street Journal, profil dana kelolaannya pada akhir 2015 lalu saja sudah mencapai 800-an miliar dollar AS.
Dana kelolaan tersebut sebesar 32-40 persen dalam ekuititas, 10-20 persen dalam obligasi pemerintah, 5-10 persen di sektor real estat, dan simpanan tunai 10 persen.
Mau tidak mau, risiko politis dalam pengelolaan adalah fitur melekat pada SWF. Dalam diskusi yang saya moderatori di Financial Club Jakarta pekan lalu, diksusi mengerucut pada aspek kapasitas pengelolaan dan kekhususan penggunaan dana kelolaan tersebut.
Sebagian besar audiens yang merupakan 100 orang eksekutif bisnis nasional, sepakat bahwa masih banyak yang harus dipersiapkan lagi untuk pendirian special purpose fund ini.
Karena itu, dibutuhkan mandat yang spesifik serta kesepakatan rejim pengelolaan risikonya.
Begitu pula dengan strategi penempatan co-investment, apabila memang arah model SWF ini yang akan dituju.
Apakah akan menjawab kebutuhan kita untuk mengecilkan gap pembiayaan infrastruktur bahkan kebutuhan IKN? Perlukah dibuat aturan lex-specialis untuk ini?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.