JAKARTA, KOMPAS.com - Kinerja penerimaan pajak sektor properti hingga Oktober 2019, tercatat turun tipis 0,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yakni Rp 64,8 triliun atau 6,9 persen dari total penerimaan pajak Nasional.
Pencapaian ini menempatkan sektor properti di posisi empat besar setelah kinerja penerimaan pajak sektor industri pengolahan yang mencapai Rp 277,33 triliun atau 29,3 persen, sektor perdagangan Rp 197,47 triliun atau 20,9 persen, dan sektor jasa keuangan Rp 137,38 triliun (14,5 persen).
Meski turun tipis, kinerja penerimaan pajak sektor properti masih berada di atas sektor pertambangan 5 persen senilai Rp 47,39 triliun, dan transportasi dan pergudangan yang berada pada posisi 4,3 persen atau Rp 40,32 triliun.
Menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, sejatinya kinerja penerimaan pajak dari sektor properti terus meningkat dari tahun ke tahun sejak 2012.
Baca juga: Ini 3 Aset Properti First Travel yang Disita Negara
"Hanya sekali mengalami penurunan yakni pada 2016 yang merupakan saat-saat properti down turn, yakni Rp 20,05 triliun. Turun dibandingkan tahun 2015 senilai Rp 25,13 triliun," ungkap Yustinus saat acara penganugerahan Green Property Awards 2019, di Jakarta, Rabu (20/11/2019).
Sementara secara Nasional, kata Yustinus, dalam sepuluh tahun terakhir target penerimaan pajak tidak pernah tercapai.
Bahkan, outlook tahun ini hingga Oktober, penerimaan pajak baru mencapai 70,85 persen atau Rp 1.018,47 triliun dari target Rp 1.437,5 triliun.
Angka ini lebih kecil dibanding tahun 2018 periode yang sama dengan capaian 92,41 persen atau senilai Rp 1.315,9 triliun dari target Rp 1.424 triliun.
Guna mendorong lebih tinggi lagi penerimaan pajak dari sektor properti, kebijakan fiskal harus selalu diarahkan untuk mendorong pertumbuhan sektor ini.
Pasalnya, sektor properti yang mencakup konstruksi, dan jasa realestat selalu berkontribusi positif dalam pertumbuhan ekonomi.
"Selain itu, dampaknya ke sektor lain besar, sementara kandungan impornya rendah," kata Yustinus.
Salah satu caranya dan terasa akan sangat relevan dengan perubahan iklim saat ini adalah membentuk insentif perpajakan untuk green property.
Penerapan konsep properti hijau semakin dituntut, mengingat keterbatasan energi fosil, sulitnya pengembangan energi terbarukan, dan berbagai permasalahan energi lainnya.
"Hanya sayangnya, hingga saat ini, belum ada ketegasan peraturan untuk mendukung penerapan properti hijau," kata Yustinus.
Baca juga: Hemat Rp 4 Miliar Setahun, Alamanda Tower Berpredikat “Green Building”
Belum adanya skema insentif untuk mendorong pembangunan properti hijau, dan tak ada sanksi tegas berupa hukuman bagi pengembang yang tidak menerapkan properti hijau, akan menimbulkan ketidakadilan.