Tentu saja ketidakadilan ini dirasakan oleh pengembang yang sudah menerapkan properti hijau.
Sementara di sisi lain, UU No 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang belum mengikat pengembang untuk wajib membangun properti hijau sebagai syarat memperoleh izin.
Oleh karena itu, menurut Yustinus, diperlukan sinergi antar kementerian dan lembaga guna mendorong impelementasi properti hijau, termasuk Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Keuangan (insentif pajak), Kementerian Perindustrian (produk hijau), PLN (keringanan pembayaran tagihan).
Indonesia bisa berkaca pada beberapa negara yang telah membentuk kebijakan fiskal untuk properti seperti Bulgaria, Spanyol, Kanada, dan Italia.
Amerika Serikat, contohnya, mereka memiliki property tax exemption yakni pengecualian pajak diberikan pada nilai elemen hijau (green elements) yang dipasang atau melekat pada properti saja, sementara terhadap bangunan properti yang ada (konvensional atau non hijau) tidak mendapatkan pengecualian pajak.
Mereka juga menerapkan property tax reduction yakni fasilitas pengurangan pajak diberikan pada elemen hijau yang dipasang pada properti (skema pengurangan dihitung berdasarkan persentase).
Kemudian property tax credit berupa uang tunai yang diberikan kembali kepada pemilik properti hijau berdasarkan tingkat sertifikasi bangunan hijau yang dibangun olehnya.
Jumlahnya bervariasi bergantung pada persentase berbeda yang dialokasikan untuk setiap tingkat sertifikasi yang dicapai. Kredit pajak ini diberikan dalam periode waktu tertentu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.