Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jarot Widya Muliawan
Akademisi

Dosen (Lektor Kepala) Pascasarjana Magister Kenotariatan di Universitas Brawijaya dan Universitas Narotama

Problematika Pelepasan Tanah Kawasan Hutan untuk Pembangunan

Kompas.com - 16/10/2019, 07:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DAPAT dipahami bersama bahwa pengadaan tanah yang dilakukan pemerintah adalah bertujuan untuk pelaksanaan pembangunan dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak.

Tujuan tersebut harus dimaknai secara khusus yakni pembangunan nasional karena sifat dari pembangunan tersebut adalah pembangunan yang meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat. 

Bukan pembangunan dalam artian individual untuk kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu.

Inilah sebab mengapa setiap pihak baik masyarakat maupun instansi pemerintah yang tanahnya menjadi obyek pengadaan tanah untuk “legowo” melepaskan tanahnya.

Secara yuridis, Pasal 56 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum telah menegaskan bahwa dalam penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, setiap orang wajib mematuhi ketentuan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Untuk itu tidak ada alasan bagi setiap orang/pihak untuk tidak patuh terhadap ketentuan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Selama ini masih ditemukan para pihak pemangku kepentingan enggan untuk melepaskan tanah kawasan hutan. Yang terjadi, pengadaan tanah tidak dilakukan dengan cara pelepasan hak tetapi dilakukan dengan cara pinjam pakai tanah kawasan hutan.

Padahal Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum telah menentukan bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara pelepasan hak dan sebagai konsekuensinya diberikan ganti kerugian kepada yang berhak.

Ketidakpatuhan dari beberapa pihak yang memangku kepentingan inilah yang dapat menimbulkan problematika pada kemudian hari.

Pelepasan hak atas tanah kawasan hutan juga telah ditegaskan dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan.

Istilah yang dipakai dalam peraturan tersebut adalah pelepasan kawasan hutan. Ditegaskan dalam Pasal 1 angka 16 Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 bahwa pelepasan kawasan hutan adalah perubahan peruntukan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi menjadi bukan kawasan hutan.

Pelepasan kawasan hutan diawali dengan permohonan pelepasan kawasan hutan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Permohonan harus memenuhi persyaratan teknis dan persyaratan administrasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.51/Menlhk/Setjen/KUM.1/6/2016 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi.

Menteri Lingkungan  Hidup dan Kehutanan setelah menerima permohonan dan meneliti kelengkapan persyaratan, dapat menerbitkan surat penolakan atau menerbitkan persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan.

Jika diterbitkan persetujuan maka pemegang persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan wajib: 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com