Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Problematika Pelepasan Tanah Kawasan Hutan untuk Pembangunan

Tujuan tersebut harus dimaknai secara khusus yakni pembangunan nasional karena sifat dari pembangunan tersebut adalah pembangunan yang meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat. 

Bukan pembangunan dalam artian individual untuk kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu.

Inilah sebab mengapa setiap pihak baik masyarakat maupun instansi pemerintah yang tanahnya menjadi obyek pengadaan tanah untuk “legowo” melepaskan tanahnya.

Secara yuridis, Pasal 56 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum telah menegaskan bahwa dalam penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, setiap orang wajib mematuhi ketentuan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Untuk itu tidak ada alasan bagi setiap orang/pihak untuk tidak patuh terhadap ketentuan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Selama ini masih ditemukan para pihak pemangku kepentingan enggan untuk melepaskan tanah kawasan hutan. Yang terjadi, pengadaan tanah tidak dilakukan dengan cara pelepasan hak tetapi dilakukan dengan cara pinjam pakai tanah kawasan hutan.

Padahal Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum telah menentukan bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara pelepasan hak dan sebagai konsekuensinya diberikan ganti kerugian kepada yang berhak.

Ketidakpatuhan dari beberapa pihak yang memangku kepentingan inilah yang dapat menimbulkan problematika pada kemudian hari.

Pelepasan hak atas tanah kawasan hutan juga telah ditegaskan dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan.

Istilah yang dipakai dalam peraturan tersebut adalah pelepasan kawasan hutan. Ditegaskan dalam Pasal 1 angka 16 Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 bahwa pelepasan kawasan hutan adalah perubahan peruntukan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi menjadi bukan kawasan hutan.

Pelepasan kawasan hutan diawali dengan permohonan pelepasan kawasan hutan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Permohonan harus memenuhi persyaratan teknis dan persyaratan administrasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.51/Menlhk/Setjen/KUM.1/6/2016 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi.

Menteri Lingkungan  Hidup dan Kehutanan setelah menerima permohonan dan meneliti kelengkapan persyaratan, dapat menerbitkan surat penolakan atau menerbitkan persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan.

Jika diterbitkan persetujuan maka pemegang persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan wajib: 

a. Menyelesaikan tata batas kawasan hutan yang dimohon yang mana hasilnya dituangkan dalam berita acara dan peta hasil tata batas yang ditandatangani oleh panitia tata batas kawasan hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

b. Mengamankan kawasan hutan yang dimohon.

Selanjutnya sebagaimana Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015, berdasarkan berita acara dan peta hasil tata batas, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan keputusan tentang batas areal Pelepasan Kawasan Hutan yang dimohon.

Berdasarkan keputusan Menteri tentang batas areal Pelepasan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud, status lahan diproses oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.

Pengaturan tanah kawasan hutan dalam Peraturan perundang-undangan harus dipahami secara utuh dan komprehensif sehingga terjadi keseragaman dalam pengelolaan dan pengaturan tanah kawasan hutan.

Ego sektoral harus dihilangkan untuk menjamin kepastian hukum dan tertib administrasi pertanahan dalam lingkup tanah kawasan hutan.

Peraturan mengenai tanah dan peraturan mengenai kawasan hutan harus disinkronkan sebagai amanat UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan.

Sertifikasi tanah kawasan hutan merupakan suatu kewajiban bagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas dasar UU Pokok Agraria, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 24  Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Sertifikat merupakan tanda bukti hak atas tanah. Oleh karena itu, jika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merasa berhak dan ingin diakui sebagai pemegang hak maka harus melakukan permohonan hak atas tanah kawasan hutan, dalam hal ini adalah Hak Pengelolaan.

Berpedoman pada UUU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, UUU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor P.51/Menlhk/Setjen/KUM.1/6/2016 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi, maka Pengadaan tanah untuk pembangunan yang obyeknya tanah kawasan hutan dilakukan dengan cara pelepasan hak.

https://properti.kompas.com/read/2019/10/16/070548321/problematika-pelepasan-tanah-kawasan-hutan-untuk-pembangunan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke