Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontroversi RUU Pertanahan, Gelombang Penolakan, hingga Batal Disahkan

Kompas.com - 24/09/2019, 12:39 WIB
Dani Prabowo,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

Selanjutnya, terhapusnya status tanah hak bekas swapraja, yang selanjutnya akan kembali menjadi tanah negara. Terakhir, tidak ada kebijakan untuk memberatntas mafia tanah dan mengendalikan nilai tanah. 

"Kami menilai draf RUU Pertanahan ini belum layak untuk disahkan. Draf RUU Pertanahan ini harus kembali pada tujuan awalnya untuk pemerataan ekonomi dan keadilan agraria," jelas Mardani.

Domain verklaring

Dihubungi terpisah, anggota Fraksi PDI-P Arif Wibowo menyatakan, RUU Pertanahan seharusnya disusun dengan cermat agar sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yaitu Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Pasal 33 UUD 1945 dan TAP MPR Nomor IX/MPR/2001. 

"RUU ini seharusnya tidak boleh mengkudeta diam-diam terhadap prinsip, substansi dan ketentuan dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, serta tetap wajib memperhatikan TAP MPR Nomor IX/MPR/2001," tegas Arif. 

Fraksi yang mendukung Presiden dalam Pemilu 2019 lalu ini juga turut memberikan delapan catatan di dalam pembahasan RUU ini.

Pertama, RUU ini tidak boleh disusupi jiwa 'domain verklaring' yang merupakan konsepsi kolonial.

Baca juga: RUU Pertanahan Diklaim Pangkas Tumpang Tindih Pengelolaan

Domain verklaring adalah suatu pernyataan yang menetapkan suatu tanah menjadi milik negara jika seseorang tidak dapat membuktikan kepemilikannya. 

Watak domain ini muncul dalam ketentuan mengenai hak milik, hak guna usaha, hak pakai dan hak pengelolaan.

Untuk ketentuan hak milik, tidak lagi mengakomodasi Pasal 20 UU PA yaitu hak milik turun temurun.

Dalam RUU ini, hak milik hanya dibentuk oleh UU, penetapan pemerintah dan ketentuan hukum adat setelah adanya penegasan dan pengakuan.

"Sangat banyak masyarakat hukum adat di Indonesia, belum memiliki penegasan dan pengakuan. Mereka menjadi rentan terkena prinsip domain verklaring, sebagaimana terlihat dalam Pasal 20 RUU Pertanahan," terangnya.

Sementara itu, berkaitan dengan hak menguasai Negara, diterjemahkan dengan adanya hak pengelolaan.

Padahal di dalam UUPA tidak terdapat ketentuan mengenai hak pengelolaan. Dalam RUU ini hal pengelolaan menciptakan penguasaan lahan dan menjadi representasi dari prinsip domain verklaring. 

"Khusus berkaitan dengan hak milik, RUU ini cenderung pada hak milik orang perseorangan, dan belum mengakomodasi hak milik bersama yang menjadi aspirasi rakyat dan telah diakomodasi dalam Peraturan Presiden No 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria," ucap Arief.

Konferensi pers di Sekretariat Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Jakarta Selatan, Minggu (22/9/2019).Kompas.com/Fitria Chusna Farisa Konferensi pers di Sekretariat Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Jakarta Selatan, Minggu (22/9/2019).
Kedua, berkaitan dengan Hak Guna Usaha (HGU) yang dipriroritaskan kepada penguasaan skala besar tanpa mempertimbangkan aspek keadilan, pembatasan luas wilayah, kepadatan penduduk, serta daya dukung lingkungan.

RUU ini memberikan impunitas terhadap penguasaan tanah skala luas termasuk properti maupun perkebunan jika melanggar ketentuan luas lahan. 

Sementara pada saat yang sama, RUU ini tidak mengatur keterbukaan informasi publik terhadap penguasaan HGU.

Pasal karet

Terdapat pasal-pasal karet yang memberikan kewenangan besar kepada menteri untuk mengatur jangka waktu tambahan dan batasan luas HGU, sebagaimana Pasal 26 dan 27 RUU Pertanahan.

Ketiga, terkait Hak Pakai yang diatur di dalam Pasal 34 RUU ini dinilai ambigu dengan ketentuan Hak Guna Usaha.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com