Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontroversi RUU Pertanahan, Gelombang Penolakan, hingga Batal Disahkan

Kompas.com - 24/09/2019, 12:39 WIB
Dani Prabowo,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Gelombang penolakan terhadap rencana pengesahan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) disuarakan mahasiswa pada saat unjuk rasa di sejumlah kota di Indonesia, Senin (23/9/2019).

Salah satu RUU yang ditolak yakni RUU Pertanahan lantaran dinilai merugikan masyarakat.

Sedianya, Komisi II DPR mengagendakan rapat kerja (raker) dengan pemerintah untuk pengambilan keputusan tingkat dua, pada pukul 14.00 WIB, Senin kemarin.

Namun, sekitar pukul 13.00 WIB ketika Kompas.com menyambangi ruang rapat Komisi II, area lobi di depan ruangan tersebut terlihat sepi.

Tak ada satu pun pejabat pemerintahan yang datang. Padahal, bila merujuk agenda seharusnya rapat kerja itu dihadiri oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan A Djalil, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono.

Baca juga: RUU Pertanahan Batal Disahkan

Kemudian Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Menteri ESDM Ignasius Jonan, dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas.com, pada saat yang sama Sofyan Djalil dipanggil Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Istana.

Sementara Menkumham yang terlihat di Kompleks Parlemen, justru tidak menghadiri raker tapi malah menyaksikan kegiatan peluncuran buku. Adapun lima menteri lainnya tak terlihat.

Salah seorang petugas keamanan dalam DPR yang berjaga mengungkapkan, bahwa tengah berlangsung rapat internal antar-anggota fraksi.

"Masih rapat internal, mas," ucap anggota keamanan yang enggan disebutkan namanya itu kepada Kompas.com.

Suasana Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/9/2019).KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO Suasana Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/9/2019).
Sekitar pukul 13.30 WIB, rapat internal itu berakhir. Wakil Ketua Komisi II yang juga anggota Fraksi PKS Mardani Ali Sera menjadi anggota pertama yang keluar dari ruangan.

Ia mengungkapkan, mayoritas fraksi menyatakan masih membutuhkan pendalaman bersama pemerintah terkait RUU ini, sehingga menyepakati untuk menunda pengesahan dalam waktu dekat. 

Hal itu dilakukan karena adanya sejumlah poin krusial yang berpotensi merugikan masyarakat. F-PKS sendiri menyoroti adanya delapan poin krusial. 

Baca juga: Delapan Hal Kontroversial RUU Pertanahan

"Setelah kami mempelajari draf akhir Panja RUU Pertanahan, kami berkesimpulan bahwa draf tersebut lebih menitikberatkan pada upaya peningkatan iklim investasi dibandingkan pada aspek pemerataan ekonomi dan keadilan agraria," kata Mardani kepada Kompas.com.

Poin-poin tersebut yakni tidak ada upaya konkrit untuk mengatasi ketimpangan penguasaan tanah.

Kedua, ada kecenderungan memberikan banyak kemudahan investasi bagi pemegang HGU, HGB, dan Hak Pakai Berjangka Waktu.

Kemudian, tidak ada upaya untuk memprioritaskan pemberian hak pakai kepada koperasi buruh tani, nelayan, UMKM dan masyarakat kecil lainnya.

Kelima, tidak adanya upaya yang konkret untuk meningkatkan nilai ekonomi lahan warga yang telah disertifikasi melalui program pemerintah. 

"Keenam, tidak adanya upaya konkret untuk mempercepat proses pengakuan tanah hkum ada yang menjadi amanat Putusan MK Nomor 35/2012," ujarnya.

Selanjutnya, terhapusnya status tanah hak bekas swapraja, yang selanjutnya akan kembali menjadi tanah negara. Terakhir, tidak ada kebijakan untuk memberatntas mafia tanah dan mengendalikan nilai tanah. 

"Kami menilai draf RUU Pertanahan ini belum layak untuk disahkan. Draf RUU Pertanahan ini harus kembali pada tujuan awalnya untuk pemerataan ekonomi dan keadilan agraria," jelas Mardani.

Domain verklaring

Dihubungi terpisah, anggota Fraksi PDI-P Arif Wibowo menyatakan, RUU Pertanahan seharusnya disusun dengan cermat agar sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yaitu Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Pasal 33 UUD 1945 dan TAP MPR Nomor IX/MPR/2001. 

Polisi pasang kawat duri dan separator di sepanjang pintu utama gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Selatan, Selasa (24/9/2010)KOMPAS.COM/WALDA MARISON Polisi pasang kawat duri dan separator di sepanjang pintu utama gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Selatan, Selasa (24/9/2010)
"RUU ini seharusnya tidak boleh mengkudeta diam-diam terhadap prinsip, substansi dan ketentuan dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, serta tetap wajib memperhatikan TAP MPR Nomor IX/MPR/2001," tegas Arif. 

Fraksi yang mendukung Presiden dalam Pemilu 2019 lalu ini juga turut memberikan delapan catatan di dalam pembahasan RUU ini.

Pertama, RUU ini tidak boleh disusupi jiwa 'domain verklaring' yang merupakan konsepsi kolonial.

Baca juga: RUU Pertanahan Diklaim Pangkas Tumpang Tindih Pengelolaan

Domain verklaring adalah suatu pernyataan yang menetapkan suatu tanah menjadi milik negara jika seseorang tidak dapat membuktikan kepemilikannya. 

Watak domain ini muncul dalam ketentuan mengenai hak milik, hak guna usaha, hak pakai dan hak pengelolaan.

Untuk ketentuan hak milik, tidak lagi mengakomodasi Pasal 20 UU PA yaitu hak milik turun temurun.

Dalam RUU ini, hak milik hanya dibentuk oleh UU, penetapan pemerintah dan ketentuan hukum adat setelah adanya penegasan dan pengakuan.

"Sangat banyak masyarakat hukum adat di Indonesia, belum memiliki penegasan dan pengakuan. Mereka menjadi rentan terkena prinsip domain verklaring, sebagaimana terlihat dalam Pasal 20 RUU Pertanahan," terangnya.

Sementara itu, berkaitan dengan hak menguasai Negara, diterjemahkan dengan adanya hak pengelolaan.

Padahal di dalam UUPA tidak terdapat ketentuan mengenai hak pengelolaan. Dalam RUU ini hal pengelolaan menciptakan penguasaan lahan dan menjadi representasi dari prinsip domain verklaring. 

"Khusus berkaitan dengan hak milik, RUU ini cenderung pada hak milik orang perseorangan, dan belum mengakomodasi hak milik bersama yang menjadi aspirasi rakyat dan telah diakomodasi dalam Peraturan Presiden No 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria," ucap Arief.

Konferensi pers di Sekretariat Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Jakarta Selatan, Minggu (22/9/2019).Kompas.com/Fitria Chusna Farisa Konferensi pers di Sekretariat Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Jakarta Selatan, Minggu (22/9/2019).
Kedua, berkaitan dengan Hak Guna Usaha (HGU) yang dipriroritaskan kepada penguasaan skala besar tanpa mempertimbangkan aspek keadilan, pembatasan luas wilayah, kepadatan penduduk, serta daya dukung lingkungan.

RUU ini memberikan impunitas terhadap penguasaan tanah skala luas termasuk properti maupun perkebunan jika melanggar ketentuan luas lahan. 

Sementara pada saat yang sama, RUU ini tidak mengatur keterbukaan informasi publik terhadap penguasaan HGU.

Pasal karet

Terdapat pasal-pasal karet yang memberikan kewenangan besar kepada menteri untuk mengatur jangka waktu tambahan dan batasan luas HGU, sebagaimana Pasal 26 dan 27 RUU Pertanahan.

Ketiga, terkait Hak Pakai yang diatur di dalam Pasal 34 RUU ini dinilai ambigu dengan ketentuan Hak Guna Usaha.

Dalam pasal tersebut hak pakai digunakan untuk memberikan konsesi pada usaha 'perkebunan, peternakan, perikanan, dan pergaraman yang berdasar pada penggunaan Tanah'. Ketentuan ini nyata-nyata bias dengan ketentuan mengenai Hak guna usaha. 

"Jika hak pakai dapat diberikan untuk konsesi perkebunan, peternakan, penggaraman, lantas untuk apa diatur adanya hak guna usaha?" cetus Arief.

Masih terkait Hak Pakai yang berorientasi pada penguasaan asing. Hak pakai dapat diberikan kepada orang asing, sehingga pasal tersebut akan menjadi karpet merah bagi konsesi asing untuk menguasai sumber daya agraria dalam bentuk perkebunan, peternakan, penggaraman dan lain-lain.

Baca juga: Pemerintah Bantah RUU Pertanahan Permudah Korupsi

Keempat, mengenai Lembaga Pengelolaan Tanah, yang diatur di dalam Pasal 72 ayat (2). Ketentuan Lembaga Pengelolaan Tanah dalam RUU ini menjadi ruang bagi badan spekulan yang dibiayai negara dan swasta serta terbuka untuk penanaman modal asing.

Ketentuan ini sekaligus menunjukkan bahwa tanah menjadi komoditas di pasar global, konsepsi yang sangat bertentangan dengan UUPA dan UUD 1945. 

Berikutnya, ketentuan tentang pendaftaran tanah dalam RUU ini menggunakan stelsel aktif warga negara, sehingga pendaftaran negara bukan menjadi tanggungjawab utuh negara.

Ketentuan ini tidak memberikan perlindungan dan keadilan bagi warga negara miskin yang tidak dapat mengakses birokrasi pendaftaran tanah. 

Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Wapres Jusuf Kalla (kanan) dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil memberikan keterangan pers terkait rencana pemindahan Ibu Kota Negara di Istana Negara, Jakarta, Senin (26/8/2019). Presiden Jokowi secara resmi mengumumkan keputusan pemerintah untuk memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur.ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Wapres Jusuf Kalla (kanan) dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil memberikan keterangan pers terkait rencana pemindahan Ibu Kota Negara di Istana Negara, Jakarta, Senin (26/8/2019). Presiden Jokowi secara resmi mengumumkan keputusan pemerintah untuk memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur.
"Keenam, RUU ini menyempitkan reforma agraria hanya sebatas penataan asset dan akses (Pasal 64 RUU Pertanahan). Bahwa reforma agraria adalah seluruh penataan ulang penguasaan lahan yang timpang, bukan sekedar penataan asset dan akses," terang Arif.

Menurut dia, ketentuan reforma agraria dalam Peraturan Presiden jauh lebih maju daripada ketentuan reforma agraria dalam RUU ini.

Ketentuan reforma agraria dalam RUU ini juga tidak membuat terobosan penyelesaian konflik HGU terutama perkebunan negara yang terlantar.

Ketujuh, tidak ada penyelesaian konflik melainkan hanya mediasi dan pengadilan, padahal sebagian besar konflik agraria merupakan konflik struktural yang memerlukan penyelesaian melalui kebijakan negara.

Terakhir, mengenai penyidik pegawai negeri dan pasal-pasal pemidanaan perlu diperhatikan karena rentan menyebabkan kriminalisasi bagi masyarakat utamanya petani dan masyarakat adat.

Belakangan, setelah muncul berbagai gelombang penolakan, Presiden Jokowi saat memberikan keterangan kepada awak media di Istana Kepresidenan, Senin sore, meminta DPR untuk menunda pengesahan beleid tersebut. 

Baca juga: PKS Tolak Pengesahan Segera RUU Pertanahan

Permintaan ini diajukan bersamaan dengan penundaan pengesahaan RUU Minerba, RUU Pemasyarakatan dan RUU KUHP.

Jokowi meminta keempat RUU ini tidak disahkan oleh DPR periode 2014-2019 yang masa tugasnya hanya sampai 30 September mendatang. 

"Sekali lagi, RUU Minerba, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, RUU KUHP, itu ditunda pengesahaannya," kata Jokowi. 

Permintaan ini pun telah disampaikan dalam rapat konsultasi dengan pimpinan DPR, pimpinan Komisi III dan para pimpinan fraksi di DPR pada siang harinya.

Presiden beralasan, pemerintah dan DPR ingin mendapat masukan yang lebih luas dari masyarakat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com