Dalam pasal tersebut hak pakai digunakan untuk memberikan konsesi pada usaha 'perkebunan, peternakan, perikanan, dan pergaraman yang berdasar pada penggunaan Tanah'. Ketentuan ini nyata-nyata bias dengan ketentuan mengenai Hak guna usaha.
"Jika hak pakai dapat diberikan untuk konsesi perkebunan, peternakan, penggaraman, lantas untuk apa diatur adanya hak guna usaha?" cetus Arief.
Masih terkait Hak Pakai yang berorientasi pada penguasaan asing. Hak pakai dapat diberikan kepada orang asing, sehingga pasal tersebut akan menjadi karpet merah bagi konsesi asing untuk menguasai sumber daya agraria dalam bentuk perkebunan, peternakan, penggaraman dan lain-lain.
Baca juga: Pemerintah Bantah RUU Pertanahan Permudah Korupsi
Keempat, mengenai Lembaga Pengelolaan Tanah, yang diatur di dalam Pasal 72 ayat (2). Ketentuan Lembaga Pengelolaan Tanah dalam RUU ini menjadi ruang bagi badan spekulan yang dibiayai negara dan swasta serta terbuka untuk penanaman modal asing.
Ketentuan ini sekaligus menunjukkan bahwa tanah menjadi komoditas di pasar global, konsepsi yang sangat bertentangan dengan UUPA dan UUD 1945.
Berikutnya, ketentuan tentang pendaftaran tanah dalam RUU ini menggunakan stelsel aktif warga negara, sehingga pendaftaran negara bukan menjadi tanggungjawab utuh negara.
Ketentuan ini tidak memberikan perlindungan dan keadilan bagi warga negara miskin yang tidak dapat mengakses birokrasi pendaftaran tanah.
"Keenam, RUU ini menyempitkan reforma agraria hanya sebatas penataan asset dan akses (Pasal 64 RUU Pertanahan). Bahwa reforma agraria adalah seluruh penataan ulang penguasaan lahan yang timpang, bukan sekedar penataan asset dan akses," terang Arif.
Menurut dia, ketentuan reforma agraria dalam Peraturan Presiden jauh lebih maju daripada ketentuan reforma agraria dalam RUU ini.
Ketentuan reforma agraria dalam RUU ini juga tidak membuat terobosan penyelesaian konflik HGU terutama perkebunan negara yang terlantar.
Ketujuh, tidak ada penyelesaian konflik melainkan hanya mediasi dan pengadilan, padahal sebagian besar konflik agraria merupakan konflik struktural yang memerlukan penyelesaian melalui kebijakan negara.
Terakhir, mengenai penyidik pegawai negeri dan pasal-pasal pemidanaan perlu diperhatikan karena rentan menyebabkan kriminalisasi bagi masyarakat utamanya petani dan masyarakat adat.
Belakangan, setelah muncul berbagai gelombang penolakan, Presiden Jokowi saat memberikan keterangan kepada awak media di Istana Kepresidenan, Senin sore, meminta DPR untuk menunda pengesahan beleid tersebut.
Baca juga: PKS Tolak Pengesahan Segera RUU Pertanahan
Permintaan ini diajukan bersamaan dengan penundaan pengesahaan RUU Minerba, RUU Pemasyarakatan dan RUU KUHP.
Jokowi meminta keempat RUU ini tidak disahkan oleh DPR periode 2014-2019 yang masa tugasnya hanya sampai 30 September mendatang.
"Sekali lagi, RUU Minerba, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, RUU KUHP, itu ditunda pengesahaannya," kata Jokowi.
Permintaan ini pun telah disampaikan dalam rapat konsultasi dengan pimpinan DPR, pimpinan Komisi III dan para pimpinan fraksi di DPR pada siang harinya.
Presiden beralasan, pemerintah dan DPR ingin mendapat masukan yang lebih luas dari masyarakat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.