KPBU bukan privatisasi tetapi pengelolaan aset melalui konsesi dan dapat juga berupa kegiatan yang: memiliki arus pendapatan. Pada intinya skema tetapnya adalah perjanjian komersial yang harus memenuhi kaidah-kaidah return on investment (ROI).
Dengan referensi berbagai proyek yang saya pernah terlibat maupun benchmark praktik KPBU di berbagai belahan dunia, ada beberapa hal yang pasti harus ada.
KPBU hanya dapat dilakukan apabila proyek tersebut Feasible, yaitu mumpuni secara desain, melibatkan teknologi dan solusi yang andal. Dalam proyek-proyek KPBU di dunia, reputasi baik investor, pemerintah maupun kontraktor yang terlibat sangat lah penting disamping adanya komitmen dukungan pemerintah kepada proyek ini.
Proyek ini pun harus bankable, dengan mengoptimalisasi alokasi risiko. Penjaminan pemerintah dan perjanjian regres menjadi penting. Kompensasi kepada investor disusun dan ditentukan secara obyektif, dan penjaminan pemerintah sebagai aspek yang harus selalu ada.
Panjangnya rentang waktu proyek pemindahan ibu kota yang akan lintas regime, membuat proyek ini sangat besar risikonya.
Selain itu, proyeksi cash flow dan program capex yang optimal, analisis cost benefit, dan kelayakan nilai ekonomi harus jelas. Hal ini dilakukan dalam rangka fiscally acceptable.
Juga harus dipertimbangkan dan dihitung secara cermat kemampuan jangka panjang keuangan pemerintah. Karena hampir pasti penanggung proyek kerja sama )PJPK) dari KPBU ini adalah pemerintah pusat maka aspek APBN dan kemampuan fiskal negara menjadi penting.
Saran saya indikator-indikator value for money harus rinci dilakukan bagi tiap aset yang menjadi bagian dari program pemindahan ibu kota ini.
Lebih dari hal di atas, kalau pekerjaan pemindahan ibu kota negara mengharapkan KPBU, maka proyek haruslah legal, sesuai aturan yang berlaku, baik transparansi aspek transaksi KPBU itu sendiri maupun tata cara pengadaan dan operasionalisasinya.
Aturan saat ini sudah ada seperti Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.
Lebih lanjut juga diatur tata cara pengadaannya melalui Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengadaan Badan Usaha Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1281).
Dalam Pasal 26 Perpres 38/2015, perencanaan, penyiapan dan transaksi disiapkan oleh kementerian atau lembaga, harus segera ditunjuk lembaga yang akan menjadi PJPK. Namun, pertanyaannya, apakah PJPK yang ditunjuk akan tunggal, atau berdasarkan jenis aset?
Proyek ini perlu dipastikan apakah hanya solicited, ataukah juga memungkinkan jalur secara unsolicited. Di sini pemrakarsa proyeknya adalah investor, yang mengajukan proposal dan dokumen pra-studi kelayakan ke PJPK.
Dalam aturan yang ada sekarang, syarat unsolicited adalah terintegrasi secara teknis dengan rencana induk pada sektor yang bersangkutan. Nah, rencana induk manakah yang akan dirujuk?
Selain itu, pemrakarsa harus dapat mengajukan proyek yang layak secara ekonomi dan finansial; dan badan usaha yang mengajukan prakarsa memiliki kemampuan keuangan yang memadai.