Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bernardus Djonoputro
Ketua Majelis Kode Etik, Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP)

Bernardus adalah praktisi pembiayaan infrastruktur dan perencanaan kota. Lulusan ITB jurusan Perencanaan Kota dan Wilayah, dan saat ini menjabat Advisor Senior disalah satu firma konsultan terbesar di dunia. Juga duduk sebagai anggota Advisory Board di Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung ( SAPPK ITB).

Selain itu juga aktif sebagai Vice President EAROPH (Eastern Region Organization for Planning and Human Settlement) lembaga afiliasi PBB bidang perencanaan dan pemukiman, dan Fellow di Salzburg Global, lembaga think-tank globalisasi berbasis di Salzburg Austria. Bernardus adalah Penasehat Bidang Perdagangan di Kedubes New Zealand Trade & Enterprise.

Peliknya KPBU dalam Relokasi Ibu Kota Negara

Kompas.com - 08/07/2019, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ADA beberapa istilah teknis dalam pemindahan ibu kota negara, namun penting untuk diketahui terkait value for money, public servic comparator, viability gap fund, dan recourse agreement yang merupakan bagian melekat dari setiap bahasan kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU).

Minggu lalu dalam kegiatan The Harvard Club, saya berdiskusi dengan Menteri Bappenas tentang isu pemindahan ibu kota. Ada beberapa hal mengemuka, terutama hubungan antara proyeksi kemajuan ekonomi Indonesia pada 2045 sebagai salah satu ekonomi terbesar di dunia.

Kita dihadapkan pada realita kebutuhan untuk fokus pada downstreaming sumber daya. Namun, tak dimungkiri ada kesan skeptis tentang kemampuan pemerintah (kelak) dalam menegimplementasikan rencananya untuk memindahkan ibu kota negara, karena isu kemampuan fiskal negara.

Dimulai ketika Presiden Joko Widodo (JOkowi) mengumumkan akan merelokasi ibu kota, muncul reaksi bergelombang baik yang skeptis maupun yang optimistis.

Dalam hampir semua pertemuan saya dengan kalangan teknokrat maupun investor dalam negeri dan di berbagai acara internasional dalam beberapa bulan terakhir ini, isu pembiayaan rencana kota baru ini menjadi salah satu topik paling hangat.

Ada hal penting yang perlu diperhatikan setelah aspek perencanaan dan desain kota dalam menyikapi keputusan untuk melakukan relokasi fungsi pemerintahan, yakni aspek pembiayaan.

Salah satu yang paling menjadi isu pokok adalah rencana memenuhi sebagian kebutuhan dari estimasi Rp 600 triliun melalui skema KPBU. Dengan angka kebutuhan yang begitu besar tentu akan menjadi perhatian para investor institusional dan perbankan, donor multilateral maupun para manajer pembiayaan yang mengelola dana jangka panjang seperti dana pensiun.

Bagi kami, praktisi di bidang KPBU, sudah menjadi mafhum bahwa KPBU memberikan ruang bagi investasi dan sumber dana asing.

Dengan proses penyiapan proyek dan tender standar yang diterima internasional. Maka penting bagi pemerintah memastikan dulu dengan kalangan politisi dalam menyikapi boleh tidaknya keterlibatan investasi asing dalam pembangunan ibu kota negara.

Apa sebenarnya KPBU?

Sebenarnya, sebagai sebuah konsep pembiayaan, KPBU atau public private partnership tidak sesederhana mengucapkannya. KPBU adalah skema perikatan pemerintah dan investor yang melibatkan perjanjian berbagi risiko yang dituangkan dalam perjanjian KPBU atau PPP Agreement, dengan prasyarat yang pelik dan sangat detail.

Perjanjian kerja sama dalam bentuk konsesi atau operasional jangka panjang 25 tahun sampai 30 tahun, dihitung di depan dengan memperhitungkan risiko politik 5 tahunan, tren keuangan, kepastian demand, dan seterusnya.

Perikatan ini melibatkan penjaminan dan dukungan pemerintah, dalam berbagai bentuk seperti insentif, ekuitas maupun instrumen fiskal, dukungan sebagian konstruksi, subsidi, hibah, maupun perizinan.

Negera kita dalam 15 tahun terakhir ini mengarusutamakan KPBU dalam visi strategis rencana kerja pemerintah. Dikuatkan melalui aturan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 62.

Namun perencanaan ibu kota baru adalah kerja besar yang harus diatur secara lebih khusus. Ada keterbatasan pada perpres tersebut, terutama kalau menyangkut isu seperti sovereignity atau kedaulatan, penanganan aset rahasia, keamanan negara dan lain lain.

Bappenas menyatakan bahwa KPBU adalah investasi dengan imbal hasil di bawah standar kelayakan sehingga membutuhkan pengurangan sebagian beban investasi melalui investasi sosial Pemerintah.

KPBU bukan privatisasi tetapi pengelolaan aset melalui konsesi dan dapat juga berupa kegiatan yang: memiliki arus pendapatan. Pada intinya skema tetapnya adalah perjanjian komersial yang harus memenuhi kaidah-kaidah return on investment (ROI).

Dengan referensi berbagai proyek yang saya pernah terlibat maupun benchmark praktik KPBU di berbagai belahan dunia, ada beberapa hal yang pasti harus ada.

KPBU hanya dapat dilakukan apabila proyek tersebut Feasible, yaitu mumpuni secara desain, melibatkan teknologi dan solusi yang andal. Dalam proyek-proyek KPBU di dunia, reputasi baik investor, pemerintah maupun kontraktor yang terlibat sangat lah penting disamping adanya komitmen dukungan pemerintah kepada proyek ini.

Proyek ini pun harus bankable, dengan mengoptimalisasi alokasi risiko. Penjaminan pemerintah dan perjanjian regres menjadi penting. Kompensasi kepada investor disusun dan ditentukan secara obyektif, dan penjaminan pemerintah sebagai aspek yang harus selalu ada.

Panjangnya rentang waktu proyek pemindahan ibu kota yang akan lintas regime, membuat proyek ini sangat besar risikonya.

Selain itu, proyeksi cash flow dan program capex yang optimal, analisis cost benefit, dan kelayakan nilai ekonomi harus jelas. Hal ini dilakukan dalam rangka fiscally acceptable.

Juga harus dipertimbangkan dan dihitung secara cermat kemampuan jangka panjang keuangan pemerintah. Karena hampir pasti penanggung proyek kerja sama )PJPK) dari KPBU ini adalah pemerintah pusat maka aspek APBN dan kemampuan fiskal negara menjadi penting.

Saran saya indikator-indikator value for money harus rinci dilakukan bagi tiap aset yang menjadi bagian dari program pemindahan ibu kota ini.

Persiapan yang makan waktu

Lebih dari hal di atas, kalau pekerjaan pemindahan ibu kota negara mengharapkan KPBU, maka proyek haruslah legal, sesuai aturan yang berlaku, baik transparansi aspek transaksi KPBU itu sendiri maupun tata cara pengadaan dan operasionalisasinya.

Aturan saat ini sudah ada seperti Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.

Lebih lanjut juga diatur tata cara pengadaannya melalui Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengadaan Badan Usaha Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1281).

Dalam Pasal 26 Perpres 38/2015, perencanaan, penyiapan dan transaksi disiapkan oleh kementerian atau lembaga, harus segera ditunjuk lembaga yang akan menjadi PJPK. Namun, pertanyaannya, apakah PJPK yang ditunjuk akan tunggal, atau berdasarkan jenis aset?

Proyek ini perlu dipastikan apakah hanya solicited, ataukah juga memungkinkan jalur secara unsolicited. Di sini pemrakarsa proyeknya adalah investor, yang mengajukan proposal dan dokumen pra-studi kelayakan ke PJPK.

Dalam aturan yang ada sekarang, syarat unsolicited adalah terintegrasi secara teknis dengan rencana induk pada sektor yang bersangkutan. Nah, rencana induk manakah yang akan dirujuk?

Selain itu, pemrakarsa harus dapat mengajukan proyek yang layak secara ekonomi dan finansial; dan badan usaha yang mengajukan prakarsa memiliki kemampuan keuangan yang memadai.

Lalu, karena pemindahan ibu kota ini adalah proyek strategis besar, apakah unsolicited proposals bisa mendapatkan dukungan pemerintah seperti viability gap fund? Aturan Perka LKPP  memungkinkan untuk dapat diusahakan. Karena itu, ambiguitas ini harus disikapi awal dalam proyek sebesar pemindahan ibukota.

Lalu, bagaimana dengan skema pembayaran oleh pemerintah dengan availability payment (AP) dengan digabung pendapatan berupa user pay, guna menambah Ruang Kapasitas Fiskal PJPK.

Kementerian Perhubungan saja dengan struktur APBN hari ini, tidak berkeinginan untuk berkomitmen baru melalui AP untuk infratruktur transportasi perkotaan ke depan, kecuali kalau APBNnya direvisi lagi.

Masalahnya, meningkatkan pagu APBN perlu restu Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan koordinasi antara Bappenas, Kemenkeu dan Kemenhub.

Selain itu pemerintah harus sudah siap dengan lamanya waktu yang diperlukan untuk penyiapan proyek dan proses transaksi.

Tanpa bermaksud melebih-lebihkan, kita bisa berkaca pada kasus KPBU Umbulan yang sudah berjalan belasan tahun, namun baru mengalami akselerasi dalam lima tahun terakhir. Rata-rata transaksi yang saat ini sedang berjalan diperkirakan 18-24 bulan.

Pengalaman KPBU sejak 2005 adalah Umbulan (air bersih), PLTU Batang (listrik), Rel Kereta Makassar Pare-pare, Palapa Ring dan Satelit Satria (satelit). Hanya proyek-proyek solicited ini yang sebagian sudah tanda tangan PPP Agreement, sebagian sudah financial close, dan sisanya kajian tahap akhir.

Dengan hampir 30-an proyek prioritas dalam PPP Book Bappenas maupun proses Project Development Fund yang sedang menyiapkan berbagai proyek KPBU, diperlukan waktu 18 bulan hingga 24 bulan bagi Bappenas dan Kemenkeu dalam mempersiapkan proyek pemindahan ibu kota.

Perhitungan konstruksi maupun operasi dan maintenance selama masa konsesi, membutuhkan proyeksi keuangan dan risiko selama project life cycle, demikian juga strategi pemerintah untuk program akhirnya.

Banyak detail-detail finansial dan teknis perlu dibahas mendalam soal KPBU ini. Langkah pertama yang segera harus dilakukan, adalah menemukenali dan menentukan indikator value for money  dari keseluruhan proyek, maupun per sektor. Serta melakukan telaah detail mengenai public service comparator.

Selamat bersiap-siap.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com