ADA beberapa istilah teknis dalam pemindahan ibu kota negara, namun penting untuk diketahui terkait value for money, public servic comparator, viability gap fund, dan recourse agreement yang merupakan bagian melekat dari setiap bahasan kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU).
Minggu lalu dalam kegiatan The Harvard Club, saya berdiskusi dengan Menteri Bappenas tentang isu pemindahan ibu kota. Ada beberapa hal mengemuka, terutama hubungan antara proyeksi kemajuan ekonomi Indonesia pada 2045 sebagai salah satu ekonomi terbesar di dunia.
Kita dihadapkan pada realita kebutuhan untuk fokus pada downstreaming sumber daya. Namun, tak dimungkiri ada kesan skeptis tentang kemampuan pemerintah (kelak) dalam menegimplementasikan rencananya untuk memindahkan ibu kota negara, karena isu kemampuan fiskal negara.
Dimulai ketika Presiden Joko Widodo (JOkowi) mengumumkan akan merelokasi ibu kota, muncul reaksi bergelombang baik yang skeptis maupun yang optimistis.
Dalam hampir semua pertemuan saya dengan kalangan teknokrat maupun investor dalam negeri dan di berbagai acara internasional dalam beberapa bulan terakhir ini, isu pembiayaan rencana kota baru ini menjadi salah satu topik paling hangat.
Ada hal penting yang perlu diperhatikan setelah aspek perencanaan dan desain kota dalam menyikapi keputusan untuk melakukan relokasi fungsi pemerintahan, yakni aspek pembiayaan.
Salah satu yang paling menjadi isu pokok adalah rencana memenuhi sebagian kebutuhan dari estimasi Rp 600 triliun melalui skema KPBU. Dengan angka kebutuhan yang begitu besar tentu akan menjadi perhatian para investor institusional dan perbankan, donor multilateral maupun para manajer pembiayaan yang mengelola dana jangka panjang seperti dana pensiun.
Bagi kami, praktisi di bidang KPBU, sudah menjadi mafhum bahwa KPBU memberikan ruang bagi investasi dan sumber dana asing.
Dengan proses penyiapan proyek dan tender standar yang diterima internasional. Maka penting bagi pemerintah memastikan dulu dengan kalangan politisi dalam menyikapi boleh tidaknya keterlibatan investasi asing dalam pembangunan ibu kota negara.
Sebenarnya, sebagai sebuah konsep pembiayaan, KPBU atau public private partnership tidak sesederhana mengucapkannya. KPBU adalah skema perikatan pemerintah dan investor yang melibatkan perjanjian berbagi risiko yang dituangkan dalam perjanjian KPBU atau PPP Agreement, dengan prasyarat yang pelik dan sangat detail.
Perjanjian kerja sama dalam bentuk konsesi atau operasional jangka panjang 25 tahun sampai 30 tahun, dihitung di depan dengan memperhitungkan risiko politik 5 tahunan, tren keuangan, kepastian demand, dan seterusnya.
Perikatan ini melibatkan penjaminan dan dukungan pemerintah, dalam berbagai bentuk seperti insentif, ekuitas maupun instrumen fiskal, dukungan sebagian konstruksi, subsidi, hibah, maupun perizinan.
Negera kita dalam 15 tahun terakhir ini mengarusutamakan KPBU dalam visi strategis rencana kerja pemerintah. Dikuatkan melalui aturan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 62.
Namun perencanaan ibu kota baru adalah kerja besar yang harus diatur secara lebih khusus. Ada keterbatasan pada perpres tersebut, terutama kalau menyangkut isu seperti sovereignity atau kedaulatan, penanganan aset rahasia, keamanan negara dan lain lain.
Bappenas menyatakan bahwa KPBU adalah investasi dengan imbal hasil di bawah standar kelayakan sehingga membutuhkan pengurangan sebagian beban investasi melalui investasi sosial Pemerintah.