Pertama, kata Dora, tidak dikenakan pajak penjualan atau PPN, pajak penjualan barang mewah (PPNBM), dan estate duty.
"Kedua, tidak ada batasan pembelian asing. Mereka bebas membeli berapa pun jumlah unit yang diinginkan, selama punya uang," seloroh Dora.
Baca juga: Indonesia, Pasar Penting Bagi Pariwisata Singapura
Ketiga, nilai mata uang dollar Singapura relatif stabil. Keempat, produk properti yang dijual merupakan area penggunaan dalam hitungan bersih alias sale of usable nett floor area.
Kelima, Singapura menawarkan pertumbuhan nilai sewa rata-rata 3 persen, dengan pasar penjualan yang kembali aktif setelah sempat menurun pada dua tahun lalu.
Faktor berikutnya adalah regulasi dan peraturan yang melindungi pemilik properti demikian terang dan jelas.
"Tidak ada wilayah abu-abu. Semua pasti," tekan Dora.
Faktor ketujuh adalah skema pembayaran progresif. Di Singapura, pembeli hanya diharuskan membayar cicilan jika progres pembangunan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan.
"Misalnya, untuk cicilan pertama, pembeli membayar 15 persen, kemudian lima persen, dan selanjutnya sesuai dengan perkembangan pembangunan," tambah Dora.
Skema pembayaran ini melindungi konsumen, dan sekaligus menghindarkan pembeli dari praktik curang pengembang.
Baca juga: 10 Raja Properti Kaya Dunia Bermukim di Singapura
Uang pembeli disimpan dalam escrow account perbankan yang akan dikeluarkan bila progres pembangunan fisik properti sesuai dalam klausul perjanjian jual beli.
Terakhir adalah rencana pembangunan Singapura di sektor infrastruktur yang diyakini akan menambah nilai properti.
Menurut Cheng, pertumbuhan properti Singapura akan berada pada level rata-rata 10 persen seiring dengan pembangunan infrastruktur.
Berdasarkan statistik yang diperoleh dari URA Realis, pasar properti Singapura memang memperlihatkan penurunan pada 2017.
Tahun itu, hanya ada sekitar 1.600 transaksi yang dilakukan oleh pembeli asing. Jumlah ini jauh lebih rendah dari jumlah rata-rata 3.600 transaksi per tahun saat properti tengah booming pada medio 2010-2013.
Penurunan transaksi ini disebabkan oleh Bea Materai Tambahan Pembeli atau additional buyer's stamp duty (ABSD) 15 persen yang dikenakan untuk pembeli properti asing.
ADBS ini tentu saja telah menghalangi minat pembeli asing termasuk dari Indonesia untuk berinvestasi di properti Singapura.
Namun begitu, para analis dan hasil riset DBS Bank menunjukkan optimisme bahwa harga properti Singapura akan tumbuh positif sekitar 3 persen hingga 15 persen pasca penurunan 12 persen sejak masa puncak terakhir.
Selain itu, mereka juga percaya bahwa permintaan asing untuk properti di Singapura akan sedikit meningkat, untuk tidak dikatakan lonjakan besar, yang diikuti oleh kegairahan di pasar sewa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.