Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Alasan Orang Indonesia Beli Properti di Singapura

Menurut laporan Urban Redevelopment Authority (URA), orang Indonesia yang membeli properti di Singapura selalu menempati posisi tiga terbanyak selama kurun 9 tahun berturut-turut sejak 2010 hingga 2018.

Indonesia hanya kalah dari pembeli China, dan Malaysia. Bahkan, pada kurun 2006 hingga 2008, URA menyebut, pembeli Indonesia menempati posisi teratas dengan porsi sekitar 17 persen hingga 19 persen dari total jumlah properti terjual pada tahun berjalan.

Di negeri dengan luas wilayah 721 kilometer persegi ini, orang-orang Indonesia membeli properti baru dengan harga per unit lebih tinggi ketimbang apartemen termahal di Jakarta.

Satu di antara proyek properti yang diminati orang Indonesia adalah Wallich Residence yang dikembangkan GuocoLand Singapura.

General Manager Residential GuocoLand Singapura Dora Chng, mengaku, ada beberapa unit Wallich Residence yang dibeli oleh orang Indonesia.

Padahal, harga termurah Wallich Residence untuk ukuran 60 meter persegi 2,06 juta dollar Singapura atau jika dikonversi ke Rupiah sekitar Rp 21,05 miliar!

Tak hanya apartemen di gedung tertinggi Singapura yang menjulang 290 meter itu, kalangan tajir Indonesia juga belanja properti di Martin Modern.

Bayangkan, apartemen ini berlokasi di Distrik 9, yang notabene merupakan jantungnya pusat bisnis dan keuangan negeri Lee Kwan Yew tersebut.

Sekadar informasi, harga sewa dua unit kamar tidur apartemen eksisting saja sudah menembus angka 400.000 dollar Singapura atau Rp 4,1 miliar per tahun!

Oleh karena itu, tak mengherankan jika Group Managing Director GuocoLand Singapura Cheng Hsing Yao menganggap Indonesia adalah pasar potensial dengan kemampuan atau daya beli cukup tinggi.

Lantas mengapa banyak orang Indonesia membeli properti di Singapura?

Dora punya jawabannya. Menurut dia, investasi properti di negara-kota itu demikian mudah, dan menguntungkan.

Pertama, kata Dora, tidak dikenakan pajak penjualan atau PPN, pajak penjualan barang mewah (PPNBM), dan estate duty.

"Kedua, tidak ada batasan pembelian asing. Mereka bebas membeli berapa pun jumlah unit yang diinginkan, selama punya uang," seloroh Dora.

Ketiga, nilai mata uang dollar Singapura relatif stabil. Keempat, produk properti yang dijual merupakan area penggunaan dalam hitungan bersih alias sale of usable nett floor area.

Kelima, Singapura menawarkan pertumbuhan nilai sewa rata-rata 3 persen, dengan pasar penjualan yang kembali aktif setelah sempat menurun pada dua tahun lalu.

"Tidak ada wilayah abu-abu. Semua pasti," tekan Dora.

Faktor ketujuh adalah skema pembayaran progresif. Di Singapura, pembeli hanya diharuskan membayar cicilan jika progres pembangunan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan.

"Misalnya, untuk cicilan pertama, pembeli membayar 15 persen, kemudian lima persen, dan selanjutnya sesuai dengan perkembangan pembangunan," tambah Dora.

Skema pembayaran ini melindungi konsumen, dan sekaligus menghindarkan pembeli dari praktik curang pengembang.

Uang pembeli disimpan dalam escrow account perbankan yang akan dikeluarkan bila progres pembangunan fisik properti sesuai dalam klausul perjanjian jual beli. 

Terakhir adalah rencana pembangunan Singapura di sektor infrastruktur yang diyakini akan menambah nilai properti.

Menurut Cheng, pertumbuhan properti Singapura akan berada pada level rata-rata 10 persen seiring dengan pembangunan infrastruktur.

Berdasarkan statistik yang diperoleh dari URA Realis, pasar properti Singapura memang memperlihatkan penurunan pada 2017.

Tahun itu, hanya ada sekitar 1.600 transaksi yang dilakukan oleh pembeli asing. Jumlah ini jauh lebih rendah dari jumlah rata-rata 3.600 transaksi per tahun saat properti tengah booming pada medio 2010-2013.

Penurunan transaksi ini disebabkan oleh Bea Materai Tambahan Pembeli atau additional buyer's stamp duty (ABSD) 15 persen yang dikenakan untuk pembeli properti asing.

ADBS ini tentu saja telah menghalangi minat pembeli asing termasuk dari Indonesia untuk berinvestasi di properti Singapura.

Namun begitu, para analis dan hasil riset DBS Bank menunjukkan optimisme bahwa harga properti Singapura akan tumbuh positif sekitar 3 persen hingga 15 persen pasca penurunan 12 persen sejak masa puncak terakhir.

Selain itu, mereka juga percaya bahwa permintaan asing untuk properti di Singapura akan sedikit meningkat, untuk tidak dikatakan lonjakan besar, yang diikuti oleh kegairahan di pasar sewa.

https://properti.kompas.com/read/2019/03/26/230136421/alasan-orang-indonesia-beli-properti-di-singapura

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke