JAKARTA, KOMPAS.com - Ketidakpastian yang terjadi saat tahun politik menyeret pasar properti Indonesia yang telah mencapai titik aman sejauh ini, kembali gamang.
Dalam laporan terbarunya, lembaga pemeringkat internasional, Standard & Poors (S&P) Global Ratings menyatakan penjualan di sektor residensial cenderung berjalan lambat.
Namun demikian, kebutuhan untuk belanja modal tetap relatif tinggi. Hal ini karena sebagian masyarakat dan investor, memilih bersikap wait-and-see jelang pemilihan presiden pada 17 April mendatang.
"Penjualan properti yang lambat di Indonesia menambah risiko likuiditas yang lebih ketat dan biaya pinjaman yang lebih tinggi," kata analis kredit S&P Global Ratings, Kah Ling Chan dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Rabu (27/2/2019).
Baca juga: Siapa Raja Properti Tanah Air?
Menurut lembaga ini, sebagian besar penjualan baru akan kembali pada paruh kedua tahun ini.
Demi mengimbangi kinerja penjualan yang melambat, beberapa pengembang menjual lahan untuk mendapatkan uang tunai.
Selama lima tahun, S&P telah memangkas peringkat tiga dari lima pengembang, setidaknya satu takik (notch). Pemangkasan ini terjadi akibat melemahnya posisi likuiditas.
Berikut tiga pengembang besar yang mengalami penurunan peringkat:
Pertama adalah PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR). Pada Desember 2014, S&P memberikan peringkat BB- dengan outlook stabil, namun pada Februari 2019 peringkat LPKR anjlok menjadi CCC+.
Dalam laporan tersebut, S&P menyertakan outlook negatif.
"Kami memperkirakan, tanpa langkah-langkah strategis perusahaan dapat kehabisan uang tunai dalam waktu enam bulan," tulis S&P.
Baca juga: Lippo Group Tak Lagi Kuasai Saham Meikarta
Sementara PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI) mendapatkan peringkat B dari yang sebelumnya B+ dengan outlook negatif.
Lembaga ini juga menyematkan status CreditWatch lantaran kegagalan dalam menangani refinancing 2020 pada akhir Maret 2019.
Pengembang lain, PT Jababeka Tbk mendapatkan peringkat B dari yang sebelumnya B+ dengan outlook stabil.