Korban selalu banyak karena terjadi pelanggaran dan pemanfaatan ruang yang tidak terkendali.
Pelanggaran yang sering terjadi adalah:
1. Jenis Kegiatan yang memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan peruntukan, misalnya untuk ruang terbuka hijau dipakai pelabuhan, kios atau restoran dan lain-lain.
2. Intensitas tinggi di lokasi yang harusnya rendah (pengaturan KDB/KLB yang rendah) tidak diikuti,
3. Menambah struktur daratan atau reklamasi.
4. Bangunan di sepanjang pantai umumnya mengandalkan infrastruktur jalan yang ada, tanpa melalukan riset mendalam tentang resiko bencana.
Sampai saat ini nyatanya pemerintah tidak punya body of knowledge tata ruang hasil pelajaran berharga dari berbagai bencana di atas. Tidak satu kementerian pun punya satu komando untuk tata ruang.
Bahkan pasca bencana, bukan saja masyarakat yang kembali menempati lokasi bencana. Instansi pemerintah hanya berlomba-lomba mengajukan kebijakana populis seperti pembangunan hunian tetap, serta merta, tanpa menghiraukan peta bencana dan di mana lokasi aman.
Walaupun Presiden sudah menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai, namun tetap belum jelas.
Dalam Perpres tersebut, dijelaskan Pemprov dan Pemkab/Pemkot menetapkan batas sempadan pantai di dalam RTRW, dengan tata cara penghitungan sempadan terdapat dalam dua Peraturan Menteri (Permen) sebagai turunannya, yaitu Permen Kelautan Perikanan tentang Tata Cara Penetapan Batas Sempadan Pantai, dan Permen ATR mengenai pengaturan pemanfaatan ruang di sempadan.
Tidak perlu merasa aneh kalau saat ini antar kementerian pemerintah terkesan saling menunjuk. Bahkan dalam diskusi komunitas ahli tata ruang pun, banyak rekan perencana yang sibuk berwacana, karena tidak ada kepemimpinan.
Aturan masih sangat tumpang tindih. Saat ini ada paling tidak 6 Undang-undang (UU) yakni, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang KLHK, UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang UUPR, UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 27 Tahun 2007, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Kemendagri, dan UU Nomor 29 Tahun 2007.
Penataan ruang di pesisir dan pantai merupakan akumulasi kekuatan politik daerah, provinsi, kota/kabupaten, Kementerian ATR, Kementerian Kelautan Perikanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup, dan sering pula sektor-sektor.
Tengok konflik reklamasi Teluk Jakarta, Teluk Benoa dan berbagai proyek-proyek reklamasi yang saat ini terus berlangsung di Makassar, Tangerang, Balikpapan dan banyak lagi. Konflik tersebut apabila tidak di kelola dengan fokus, merupakan resep utama untuk bencana.
Saat ini aturan dan perangkat pengendalian ruang juga masih belum ada, terutama perangkat pengendalian perizinan, insentif/disinsentif serta pengenaan sanksi per zonasi untuk memperkuat aturan zonasi di lapangan.
Ada Ditjen Panataan Ruang dan Ditjen Pengendalian Ruang di Kementerian ATR/BPN. Tapi kelihatannya masih belum dianggap penting oleh kementerian-kementerian terkait lainnya, dan belum mampu mengeluarkan aturan teknis yang melingkupi semua sektor-sektor dan aktor yang berkepentingan.
Tata ruang pantai bukan hanya tergantung tipologi pantainya, tapi juga harus mampu menangkap kearifan lokal mereka dan dipadukan teknologi data oseanografis modern.