Sambil bertugas menata kantor PMI Aceh yang luluh lantak dan banyak pengurusnya yang menjadi korban beberapa hari sebelumnya, kami pun bergiliran mengevakuasi korban meninggal.
Sebagai standar etik, PMI mencoba memberikan pelayanan terbaik bagi tubuh-tubuh yang mulai membusuk secara cepat. Tak kurang hampir 200.000 (ya, dua ratus ribu mayat!) menjadi korban.
Setiap tahun dalam kesenduan rintik hujan akhir bulan Desember, selalu membuat hati ini trenyuh dan bertanya-tanya. Apa yang salah sehingga korban begitu besar?
Ring of Fire. Satu kata yang kini paling memasyarakat. Namun yang juga penting diingat masyarakat, nusantara ini terdiri atas 17.000-an pulau, sebuah angka yang teramat banyak, yang membuat negara ini salah satu teritori dengan perencanaan ruang paling kompleks di dunia.
Teramat banyak sudah pelajaran berharga dari berbagai bencana sejak zaman Krakatau meletus tahun 1883.
Lalu tsunami Aceh, di pulau Jawa sudah terjadi lebih dari puluhan kali gempa tektonik dalam 20 tahun terakhir, Maumere luluh lantak tahun 1992, juga Liwa. Terakhir berurutan Lombok, Palu dan Banten.
Walaupun ketanggapan terhadap bencana sudah semakin baik, jika pemerintah tidak menyatukan fokus pada membangun dan menjaga keselamatan berbasis tata ruang, maka banyak kejadian bencana akan terus memakan korban.
Mereka hidup menyatu dengan pantai dan laut. Tata ruang pantai bukan hanya berarti tipologi pantainya yang beragam, tapi juga tumbuh kearifan lokal mereka.
Sumber masalah dari masih terus berjatuhannya korban baik materil maupun jiwa, banyak ditentukan oleh kekosongan kendali pemerintah pada tata ruang. Penyebabnya, saat ini pemerintah tidak punya satu kendali terhadap isu penataan ruang.
Masyarakat awam melihat tata ruang pantai sebagai aturan dalam memanfaatkan ruang sempadan pantai.
Nah, dalam berkegiatan sering masyarakat mengenyampingkan aturan. Karena memang saat ini sangat sulit untuk dapat memahami aturan dan proses perizinan yang jelas untuk kegiatan pembangunan di pantai.
Urusan tata ruang di pantai harus menyertakan begitu banyak aturan yang membingungkan masyarakat.
Korban selalu banyak karena terjadi pelanggaran dan pemanfaatan ruang yang tidak terkendali.
Pelanggaran yang sering terjadi adalah:
1. Jenis Kegiatan yang memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan peruntukan, misalnya untuk ruang terbuka hijau dipakai pelabuhan, kios atau restoran dan lain-lain.
2. Intensitas tinggi di lokasi yang harusnya rendah (pengaturan KDB/KLB yang rendah) tidak diikuti,
3. Menambah struktur daratan atau reklamasi.
4. Bangunan di sepanjang pantai umumnya mengandalkan infrastruktur jalan yang ada, tanpa melalukan riset mendalam tentang resiko bencana.
Bahkan pasca bencana, bukan saja masyarakat yang kembali menempati lokasi bencana. Instansi pemerintah hanya berlomba-lomba mengajukan kebijakana populis seperti pembangunan hunian tetap, serta merta, tanpa menghiraukan peta bencana dan di mana lokasi aman.
Walaupun Presiden sudah menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai, namun tetap belum jelas.
Dalam Perpres tersebut, dijelaskan Pemprov dan Pemkab/Pemkot menetapkan batas sempadan pantai di dalam RTRW, dengan tata cara penghitungan sempadan terdapat dalam dua Peraturan Menteri (Permen) sebagai turunannya, yaitu Permen Kelautan Perikanan tentang Tata Cara Penetapan Batas Sempadan Pantai, dan Permen ATR mengenai pengaturan pemanfaatan ruang di sempadan.
Tidak perlu merasa aneh kalau saat ini antar kementerian pemerintah terkesan saling menunjuk. Bahkan dalam diskusi komunitas ahli tata ruang pun, banyak rekan perencana yang sibuk berwacana, karena tidak ada kepemimpinan.
Aturan masih sangat tumpang tindih. Saat ini ada paling tidak 6 Undang-undang (UU) yakni, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang KLHK, UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang UUPR, UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 27 Tahun 2007, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Kemendagri, dan UU Nomor 29 Tahun 2007.
Penataan ruang di pesisir dan pantai merupakan akumulasi kekuatan politik daerah, provinsi, kota/kabupaten, Kementerian ATR, Kementerian Kelautan Perikanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup, dan sering pula sektor-sektor.
Tengok konflik reklamasi Teluk Jakarta, Teluk Benoa dan berbagai proyek-proyek reklamasi yang saat ini terus berlangsung di Makassar, Tangerang, Balikpapan dan banyak lagi. Konflik tersebut apabila tidak di kelola dengan fokus, merupakan resep utama untuk bencana.
Saat ini aturan dan perangkat pengendalian ruang juga masih belum ada, terutama perangkat pengendalian perizinan, insentif/disinsentif serta pengenaan sanksi per zonasi untuk memperkuat aturan zonasi di lapangan.
Ada Ditjen Panataan Ruang dan Ditjen Pengendalian Ruang di Kementerian ATR/BPN. Tapi kelihatannya masih belum dianggap penting oleh kementerian-kementerian terkait lainnya, dan belum mampu mengeluarkan aturan teknis yang melingkupi semua sektor-sektor dan aktor yang berkepentingan.
Tata ruang pantai bukan hanya tergantung tipologi pantainya, tapi juga harus mampu menangkap kearifan lokal mereka dan dipadukan teknologi data oseanografis modern.
Pada saat menentukan KDB dan KLB dlm RDTR, harus menyertakan risiko bencana. Karena sepanjang bisa dikelola risikonya, kenapa harus dilarang. Pemerintah harus memastikan semua perangkat pengelolaan risikonya lengkap dan berjalan sebagaimana mestinya.
Memasuki 2109 kita mengharapkan ada perbaikan mendasar dalam urusan tata ruang negara. Para perencana yang berada di tampuk pemerintahan saat ini di berbagai kementerian harus duduk bersama dan memastikan kepemimpinan urusa tata ruang.
Amanat Presiden sangat jelas bahwa keselamatan dan kesejahteraan warga negara di atas segalanya. Semoga konflik dan ketidak teraturan koordinasi ruang tidak dapat dipecahkan pada tahun yang baru ini.
Pak Menteri ATR/Kepala BPN, mari kita kawal tata ruang sebagai panglima pembangunan!
https://properti.kompas.com/read/2018/12/30/200000121/tsunami-dan-tahun-bencana-tata-ruang