Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gas Alam, Alternatif Energi Ramah Lingkungan bagi Industri

Kompas.com - 15/12/2018, 16:04 WIB
Kontributor Lampung, Eni Muslihah,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

"Sedangkan bahan bakar cangkang sawit, permasalahannya pasokan tidak selalu tersedia dan asap yang membumbung pada cerobong menimbulkan hujan abu di sekitarnya," tutur Sandu.

Meski belum sepenuhnya menggunakan gas alam, namun baginya gas alam dalam proses pengeringan lebih cepat, harga lebih murah dan minim pengerusakan lingkungan.

"Jaringan gas di depan mata, sebelumnya tidak berpikir dua kali. Sekalipun, penyediaan mesin yang relatif mahal, namun gas alam menjadi pilihan yang paling tepat saat ini," cetusnya.

Hal senada disampaikan Plan Manager PT Japfa Comfeed Chanda Wijaya Susila. Perusahaan yang beroperasi sejak 1995 telah mentransfer sebanyak 4 kali bahan bakar untuk pengeringan pakan ternak berupa jagung.

Mulai dari solar kemudian beralih ke batu bara lalu cangkang sawit, dan akhirnya ke gas alam.

Ada banyak alasan mengapa perusahaannya perlu beralih ke gas alam.

"Memang kalau dari perhitungan awal menggunakan gas hampir dua kali lipat lebih mahal dari lainnya," ujar Chanda.

Namun, pihaknya membandingkan beberapa variabel lainnya pada bahan bakar yang selama ini digunakan.

Untuk penggunaan batu bara, peruusahaan harus menyediakan cerobong setinggi 70 meter ditambah biaya penyimpanan dan pembuangan limbah sedangkan cangkang sawit efek debunya berlebihan sehingga mengotori udara di sekitarnya.

Selain itu, jika tidak mengikuti aturan, penggunaan batu bara dan cangkang sawit yang mencemari udara, perusahaan akan dikenakan sanksi pidana.

"Seperti batu bara, kalau kami tidak mengikuti aturan maka akan dikenakan pidana. Memangnya siapa yang mau dipenjara hanya karena limbah?" ujar Chanda.

Baginya, gas alam adalah energi terbarukan yang realistis bagi dunia bisnis.

"Kami tahun depan akan menambah kapasitas penggunaaan untuk dua mesin boiler pengeringan," sebut Chanda.

Meskipun energi gas alam dianggap dunia usaha suatu keniscayaan, namun mereka juga mengeluhkan mahalnya biaya penagihan dan proses penambahan kapasitas yang menggunakan sistem kontrak.

"Ya kalau kami sih inginnya biaya disesuaikan dengan pemakaian saja. Apalagi setiap tahun tidak selalu rutin produksi," kata Chandra.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com