Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gas Alam, Alternatif Energi Ramah Lingkungan bagi Industri

Kompas.com - 15/12/2018, 16:04 WIB
Kontributor Lampung, Eni Muslihah,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

BANDARLAMPUNG, KOMPAS.com - Jalan Ir Sutami, terletak di arah Timur Kota Bandarlampung, merupakan pusat kawasan industri di Provinsi Lampung.

Berbagai perusahaan berskala nasional hingga internasional lengkap ada di sana. Tentu, dalam mengoperasikan industrinya, mereka menggunakan bahan bakar.

Namun, bahan bakar apa yang digunakan?

Kompas.com mencoba mengulik tentang bahan bakar yang mereka gunakan untuk memproduksi barang-barang yang mereka buat.

Salah satu industri yang dikunjungi adalah PT Chiel Jedang. Industri pabrikan yang bergerak di bidang pakan ternak ayam dan udang, ini memproduksi 12.000-14.000 ton pakan ayam dan 3.000 ton pakan udang per bulan.

Sebelumnya, mereka menggunakan batu bara  dan cangkang sawit sebagai bahan bakar mesin pengeringan jagung untuk pakan ternak ayam dan udang.

Namun, seiring menguatnya permintaan, mereka berencana menambah kapasitas produksi dengan cara mengubah penggunaan bahan bakar. 

Sejak pemerintah melalui PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Lampung membangun infrastruktur jaringan gas sepanjang 96 kilometer, PT Chiel Jedang pun perlahan menggantikan bahan bakar batu bara dan cangkang sawit, dengan menggunakan gas alam.

Jalur jaringan pipa gas yang dibangun tersebut membentang dari stasiun gas di laut Pantai Timur Labuhan Maringgai Lampung hingga ke Kota Bandarlampung.

Tentu saja, kondisi ini dapat mengakomodasi kebutuhan industri akan gas alam sebagai energi alternatif ramah lingkungan dan bernilai ekonomis.

Petugas sedang melakukan pemeriksaan instalasi gas stasiun di Lampung TimurKontributor Lampung, Eni Muslihah Petugas sedang melakukan pemeriksaan instalasi gas stasiun di Lampung Timur
General Manager PT Chiel Jedang Cabang Lampung Sandu Budiono mengatakan selama produksi, industrinya sudah tiga kali mengganti bahan bakar yang digunakannya.

"Pertama kami pakai bahan bakar untuk mengeringan jagung menggunakan batu bara lalu menggunakan cangkang sawit dan beralih ke gas alam," kata Sandu Budiono saat dikunjungi Kompas.com pada Jumat (7/12/2018).

Perusahaan itu mempunyai tiga mesin pengering, satu mesin menggunakan bahan bakar batu bara, cangkang sawit, dan gas alam.

Dia mengungkapkan, sering menemui kendala saat menggunakan bahan bakar batu bara dan cangkang sawit.

Khusus untuk bahan bakar batu bara, lebih mahal karena harganya Rp 930 per kilogram. Belum ongkos pembuangan limbah B3 yang harus dikirim ke Bogor.

"Sedangkan bahan bakar cangkang sawit, permasalahannya pasokan tidak selalu tersedia dan asap yang membumbung pada cerobong menimbulkan hujan abu di sekitarnya," tutur Sandu.

Meski belum sepenuhnya menggunakan gas alam, namun baginya gas alam dalam proses pengeringan lebih cepat, harga lebih murah dan minim pengerusakan lingkungan.

"Jaringan gas di depan mata, sebelumnya tidak berpikir dua kali. Sekalipun, penyediaan mesin yang relatif mahal, namun gas alam menjadi pilihan yang paling tepat saat ini," cetusnya.

Hal senada disampaikan Plan Manager PT Japfa Comfeed Chanda Wijaya Susila. Perusahaan yang beroperasi sejak 1995 telah mentransfer sebanyak 4 kali bahan bakar untuk pengeringan pakan ternak berupa jagung.

Mulai dari solar kemudian beralih ke batu bara lalu cangkang sawit, dan akhirnya ke gas alam.

Ada banyak alasan mengapa perusahaannya perlu beralih ke gas alam.

"Memang kalau dari perhitungan awal menggunakan gas hampir dua kali lipat lebih mahal dari lainnya," ujar Chanda.

Namun, pihaknya membandingkan beberapa variabel lainnya pada bahan bakar yang selama ini digunakan.

Petambak Dipasena melakukan panen dini karena minimnya pasokan solar. Foto dari Pengurus P3UW LampungKontributor Lampung, Eni Muslihah Petambak Dipasena melakukan panen dini karena minimnya pasokan solar. Foto dari Pengurus P3UW Lampung
Untuk penggunaan batu bara, peruusahaan harus menyediakan cerobong setinggi 70 meter ditambah biaya penyimpanan dan pembuangan limbah sedangkan cangkang sawit efek debunya berlebihan sehingga mengotori udara di sekitarnya.

Selain itu, jika tidak mengikuti aturan, penggunaan batu bara dan cangkang sawit yang mencemari udara, perusahaan akan dikenakan sanksi pidana.

"Seperti batu bara, kalau kami tidak mengikuti aturan maka akan dikenakan pidana. Memangnya siapa yang mau dipenjara hanya karena limbah?" ujar Chanda.

Baginya, gas alam adalah energi terbarukan yang realistis bagi dunia bisnis.

"Kami tahun depan akan menambah kapasitas penggunaaan untuk dua mesin boiler pengeringan," sebut Chanda.

Meskipun energi gas alam dianggap dunia usaha suatu keniscayaan, namun mereka juga mengeluhkan mahalnya biaya penagihan dan proses penambahan kapasitas yang menggunakan sistem kontrak.

"Ya kalau kami sih inginnya biaya disesuaikan dengan pemakaian saja. Apalagi setiap tahun tidak selalu rutin produksi," kata Chandra.

Distribusi 28 Juta Meter Kubik 

PT PGN sendiri saat ini telah mendistribusikan jaringan gas alam telah terdistribusi sebesar 34 BBTUD atau setara dengan 28 juta meter kubik kepada pembangkit listrik dan industri komersial di Lampung.

Pemanfaatan gas bumi untuk wilayah Lampung meliputi PLTMG Tarahan 24 MW (4 BBTUD), PLTMG Sutami 30 MW (4.5 BBTUD), PLTG (MPP) New Tarahan 100 MW (22 BBTUD).

Sedangkan pelanggan industri komersial lainnya yang telah memanfaatkan gas bumi sebagai bahan bakar di antaranya PT Garuda Food, PT Cheil Jeddang, Nestle, Coca-Cola, Aman Jaya Perdana, Hotel Sahid, Novotel, Bumi Menara Internusa, LDC Indonesia, dan masih banyak lagi industri lain di Lampung.

Sales Areal PT PGN Lampung Wendi Purwanto mengatakan, jaringan gas alam sudah terpasang di jalur industri termasuk di areal tol di Provinsi Lampung.

"Keberadaan jaringan gas alam sebagai bentuk komitmen kami dalam pengembangan kawasan industri di Lampung," kata Wendi.

Namun, sayangnya pertumbuhan industri di Lampung masih melambat, sehingga jaringan gas di Lampung belum dapat beroperasi secara maksimal.

Jaringan pipa gas alam dari Station Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur sudah terpasang sampai di Bandarlampung sepanjang 96 Kilometer dengan ukuran pipa dan tekanan 12".

Saat ini, PGN menguasai lebih dari 70 persen infrastruktur transmisi gas. Rinciannya, pipa transmisi ruas Grissik-Duri, Sumatera yang mencapai 536 km, Grissik-Batam-Singapura sepanjang 470 km, Pipa Transmisi SSWJ sepanjang 1.002 km, serta FSRU Jawa Barat dan FSRU Lampung.DOK PGN Saat ini, PGN menguasai lebih dari 70 persen infrastruktur transmisi gas. Rinciannya, pipa transmisi ruas Grissik-Duri, Sumatera yang mencapai 536 km, Grissik-Batam-Singapura sepanjang 470 km, Pipa Transmisi SSWJ sepanjang 1.002 km, serta FSRU Jawa Barat dan FSRU Lampung.
Labuhan Maringgai (LBM) Offtake Station adalah salah satu wujud komitmen PGN dalam penyediaan energi baik atau ramah lingkungan di Provinsi Lampung.

LBM OS ini merupakan pintu gerbang infrastruktur jaringan serta penyaluran gas bumi ke wilayah Provinsi Lampung.

Melalui pipa South Sumatera West Java (SSWJ) gas bumi dialirkan dari Station Pagardewa di Sumatera Selatan menuju Lampung, pipa diameter 32” sepanjang 268 Kilomener inilah yang menjadi penopang kebutuhan gas bumi untuk wilayah Sumatera Bagian Selatan dan Jawa Bagian Barat.

Station PGN LBM telah berdiri sejak tahun 2007 dengan seluruh kelengkapan peralatan serta kapabilitas personil yang sangat mumpuni.

Target 2050 Gunakan Energi Ramah Lingkungan

Sementara itu Kabid Energi Dinas ESDM Provinsi Lampung Jefry Aldi menjelaskan pemerintah telah menggagas pengalihan dari penggunaaan energi fosil menuju energi terbarukan sebesar 37 persen sampai 2050 mendatang.

"Tidak bisa kita terus-terusan pakai energi fosil selain faktor ketersediaan yang terus menurun dan efek lainnya adalah pemanasan global," tegas Jefry.

Dia menjelaskan, penggunaan energi terbesar adalah bahan bakar minyak (BBM).

Di Provinsi Lampung, energi terbarukan yang bersifat ramah lingkungan tersedia panas bumi, air dan gas alam.

"Yang memungkinkan saat ini menggunakan gas alam yang sudah terdistribusi sampai ke rumah-rumah, namun sayangnya penggunaannya masih sangat kecil sekali," ujar Jefry.

Hal ini, sambung dia, masih menajdi pekerjaan rumah bersama, bagaimana masyarakat dan pelaku usaha memiliki kesadaran menggunakan energi terbarukan ramah lingkungan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com