Tidak ada kesemrawutan, apalagi anarki pemanfaatan ruang. Keseimbangan terjaga dengan harmonis. Warga petani dengan ramah menawarkan anggur dan hasil tanamnya, serta menyapa setiap peziarah yang lewat.
Fenomena tersebut sangat berlawanan dengan apa yang kita hadapi di kampung halaman. Desa terasa tegang, karena berkutat untuk menahan penjarahan ruang.
Infrastruktur minimal, memperlihatkan kekalahan desa dalam kontestasi politik anggaran. Berjalan di pedalaman Rangkasbitung, Baduy Luar, atu Cibodas di kaki gunung Tangkuban Perahu dan banyak lagi, suasana yang mendominasi adalah perasaan adanya kesenjangan yang lebar.
Bahkan pemimpin kabupaten, kota dan provinsi, menjadikan desa dan kelurahan kota sebagai obyek eksploitasi pencitraan politik. Solusi infrastruktur nampak ala kadarnya, air bersih tidak pernah menjangkau warga.
Meniru desa Eropa dengan memperindah jalan kampung, bukan dengan batu granit namun keramik buatan cina dan batako. Maklumlah, kalau pecah-pecah pada hari pertama.
Salah satu cara mengukur kualitas kehidupan desa dan kota adalah dari air. Sebagai kebutuhan dasar, air adalah hak hidup warga.
Lembaga Kesehatan Dunia WHO menetapkan pedoman kualitas air minum yang menjadi referensi internasional, dan disetujui di Geneva tahun 1993.
Belajar dari pedesaan Portugal semua menyediakan air siap diminum. Sungguh sebuah amalan filosofi bahwa air adalah kebutuhan dasar manusia, dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan nya.
Berjalan selama hampir 3 minggu di jalur Camino memberikan kepada saya kecintaan terhadap desa, ranah tinggal yang tenang, penuh nuansa kontemplatif dan damai. Masih banyak tugas kita ke depan!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.