JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia Soelaeman Soemawinata, mengatakan kelompok milenial berusia 25 hingga 35 tahun dengan rentang penghasilan antara Rp 8 juta sampai Rp 20 juta-an per bulan menjadi target pangsa pasar bagi industri perumahan. Mereka jadi target utama pemasaran.
"Kelompok primer yang menjadi target end-user. Mereka belum punya rumah karena tak punya tabungan yang cukup untuk bayar uang mukanya. Penghasilan mereka selama ini habis untuk membiayai gaya hidup yang mahal seperti gonta-ganti handphone, traveling, atau hang out di restoran dan kafe," kata Eman, sapaan karibnya, Selasa (6/11/2018).
Sebaliknya, menurut Eman, kebanyakan anak-anak milenial itu maunya tinggal di apartemen di tengah kota, Padahal, penghasilannya tak akan mampu mencicil atau sekadar untuk membayar uang muka.
"Pertanyaannya, apakah mereka mau menurunkan sedikit gengsinya itu untuk beli rumah di pinggiran kota," ucap Eman.
Untuk itulah, lanjut Eman, para pemangku kebijakan dan pelaku usaha pembangunan perumahan harus memikirkan upaya penyediaan fasilitas hunian dengan pola kepemilikan bagi generasi milenial. Mereka harus punya inovasi dengan menyediakan hunian seharga Rp 400 jutaan sampai Rp 600 jutaan.
"Hitungannya, rumah dengan harga seperti itu bisa dibeli dengan cara mencicil KPR sebesar Rp 5 sampai Rp 6 juta per bulan selama 15 tahun. Tapi, itu untuk generasi milenial dengan rerata penghasilan Rp 18 juta per bulan, karena asumsi maksimal cicilan KPR adalah sepertiga gaji," kata Presiden Federasi Realestat Dunia (FIABCI) Regional Asia Pasific ini.
Lalu, bagaimana generasi milenial yang penghasilannya di kisaran Rp 8 juta-an? Rata-rata penghasilan generasi milenial yang baru menyelesaikan pendidikan dan baru mulai bekerja itu adalah Rp 8 jutaan.
"Mau tak mau, untuk kelompok ini harus disediakan fasilitas KPR dengan cicilan Rp 2,5 juta per bulan," ujar Eman.
Kebijakan untuk milenial
Anak-anak milenial atau yang lahir antara 1981 sampai 1994 ternyata belum sepenuhnya menjadi perhatian pemerintah dan otoritas perbankan, yakni sebagai sasaran kebijakan untuk bisa membeli atau punya rumah.
Padahal, faktanya jumlah generasi milenial sangat signifikan. Badan Pusat Statistik (BPS) memaparkan, generasi milenial pada 2020 akan mencapai 35 persen dari total populasi rakyat Indonesia atau sebanyak 75 juta jiwa.
Tak hanya itu. BPS juga menyatakan bahwa anak-anak milenial ini juga menjadi pangsa terbesar dari angkatan kerja di Indonesia yang saat ini yang jumlahnya diperkirakan lebih dari 22,5 juta orang.
Pada ajang pameran Properti dan Otomotif di ICE, BSD, Tangerang Selatan, Minggu (4/11/2018), lalu Ketua DPD REI DKI Jakarta Amran Nukman mengatakan bahwa di beberapa sektor perhatian pemerintah kepada generasi milenial memang sudah terlihat. Dalam beberapa kesempatan Presiden Jokowi sering menyatakan bahwa generasi milenial adalah tulang punggung ekonomi di masa depan.
Namun sebaliknya, menurut Amran, ada riset juga yang juga memaparkan bahwa akibat harga rumah tidak sebanding dengan pendapatan mereka, generasi milenial terancam tak bisa punya rumah pada 2020.
“Lah, ini yang seharusnya jadi perhatian pemerintah dan otoritas perbankan. Harus ada insentif atau paket-paket kebijakan perumahan untuk mereka. Sampai sekarang kami belum melihat intervensi regulator menyentuh sektor perumahan bagi generasi milenial itu, padahal ini mendesak. Ini alarm serius yang harus ditindaklanjuti regulator," kata Amran.