"Dia bayar sepuluh unit, tapi suaranya di perhimpunan pemilik dan penghuni satuan rusun (P3SRS) satu, itu kan tidak adil, hak dan kewajiban itu harusnya seimbang, PP jangan sampai membatasi hak orang," ujar Erwin.
Poin lain yang dinilai ganjil yakni pemberian Surat Kuasa yang hanya bisa diberikan kepada orang yang ada dalam satu Kartu Keluarga (KK). Menurut Erwin aturan tersebut sulit untuk direalisasikan.
Dia mencontohkan, jika si pemilik unit hanya memiliki satu anak dalam KK, dan si anak tersebut belum cukup dewasa untuk diberikan surat kuasa.
Oleh karena itu, jika benar poin dalam RPP tersebut disahkan, Erwin akan langsung mengajukan uji materil ke Mahkamah Agung.
“Seharusnya pemerintah memahami secara keseluruhan, jangan hanya dari sisi konsumen saja. Sisi konsumen itu subyektif, sedangkan seharusnya pemerintah itu obyektif,” kata dia.
Selain PP yang dinilai memiliki poin konstroversial, Surat Edaran yang baru-baru ini dikeluarkan Pemprov DKI Jakarta juga menimbulkan perdebatan.
Dalam SE ini, Pemprov DKI meminta P3SRS untuk menghapus ketentuan pemutusan utilitas listrik dan air yang menjadi sanksi keterlambatan dan selisih pembayaran iuran pengelolaan lingkungan (IPL).
Menurut Soelaiman, kebijakan tersebut sulit diaplikasikan. Bukan hanya karena akan merugikan pengelola, namun juga penghuni yang taat membayar. Soelaiman memaparkan, dampaknya akan terasa dari sisi pelayanan.
“Sebab kami juga ingin memberikan apresiasi kepada penghuni yang taat membayar dengan memberikan layanan yang baik, nah pelayanan ini menjadi tidak maksimal lantaran ada penghuni yang tidak membayar. Ini kan hunian bersama, jadi harus ada kebersamaan,” pungkas dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.