KOMPAS.com - Pembangunan GWK yang menghabiskan waktu 28 tahun akhirnya rampung. Seluruh modul yang berjumlah 754 buah sudah selesai terpasang.
Bahan baku atau material pembangunan permukaan patung Garuda Wisnu Kencana menggunakan logam tembaga.
Total keseluruhan tembaga yang digunakan seluas 25.000 meter persegi. Selain tembaga, permukaan patung juga dilapisi dengan kuningan.
“Dari pengalaman para seniman untuk patung yang besar paling mudah dan paling tahan dipakai dengan bahan tembaga. Hanya saja, tembaga mudah bergerak, nah untuk itu setelah bentuknya jadi, kita perkuat dengan kuningan,” ujar I Nyoman Nuarta kepada Kompas.com, Kamis (9/8/2018).
Baca juga: Patung GWK Tahan Gempa hingga Magnitudo 8
Pemilihan kuningan didasari karena bahan ini tidak menghantarkan panas, sekaligus memperkuat bahan.
Material ini dipilih karena memiliki sifat yang bertolak belakang. Bahan tembaga mudah menghantar kalor, berbeda dengan kuningan yang tidak mudah merambatkan panas.
Sifat lainnya adalah kuningan tidak mudah dibentuk seperti tembaga. Untuk itu, bahan ini sangat tepat digunakan untuk memperkuat tubuh patung yang terbuat dari tembaga agar tidak terjadi deformasi atau perubahan bentuk.
“Karena bentuknya besar sekali, kita perkuat dengan kuningan-kuningan yang berupa cross segitiga dilaskan begitu juga sekalian membentuk tekstur dari patung. Jadi dari jauh dia tidak glare,” kata Nuarta.
Struktur patung dibangun dengan menggunakan bahan stainless steel, sehingga patung akan memiliki daya tahan terhadap kekuatan gempa.
Sayangnya seratus persen material yang digunakan diimpor dari beberapa negara, seperti Jepang dan China.
Khusus untuk kuningan, Nuarta mengungkapkan bahwa material ini didatangkan khusus dari Jerman, yang memiliki kualitas terbaik. Sedangkan stainless diimpor dari India.
“Seluruh bahan terutama patungnya, tidak ada yang tidak impor,” ucap Nuarta.
Nuarta menyebutkan tidak menggunakan cat khusus pada patung. Malah warna kehijau-hijauan yang terlihat dihasilkan dari proses oksida karbonat tembaga atau disebut patina.
“Bahan pembuatan mengalami proses patina. Kita proses dengan asam untuk mendapat percepatan warna,” ujar Nuarta.
Bahan patung diproses dengan menggunakan cairan asam yang akhirnya membentuk warna tembaga menjadi mirip seperti warna batu atau candi.
Proses ini dilakukan di Bali bukannya di Bandung. Ini karena tanah di wilayah tersebut merupakan tanah kapur sehingga mampu menetralisir bahan kimia yang digunakan serta tidak mencemari lingkungan.
Umumnya jika proses patina dilakukan secara alami di luar ruangan, maka membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menghasilkan warna hijau, yakni sekitar 10 hingga 15 tahun.
Nuarta menambahkan, meski proses kimianya sama namun jika cuaca berbeda maka akan menghasikan warna yang berbeda pula.
Hal itu malah menambah nilai plus dari warna tersebut, dibanding dengan menggunakan cat. Tidak seperti cat, warna dari patina malah memberikan keunikan tersendiri.
“Banyak kandungan asam dari polusi air laut dan sebagainya, tapi itu kalau berbenturan dengan tembaga, akhirnya dia akan membentuk warna kehijau-hjauan,” kata Nuarta.
Teknologi yang digunakan dalam pembuatan patung ini menggunakan teknik pembesaran skala dan pola segmentasi.
Teknik telah mendapatkan paten dan diterapkan dalam pembangunan patung. Teknologi ini sudah dipatenkan pada tahun 1993.
Teknik ini lebih menguntungkan, karena dia dapat memperhitungkan efisiensi bahan serta biaya. Dengan teknik ini, Nuarta membuat modul secara melintang dan dipasang layaknya puzzle.
Patung GWK sendiri terdiri dari 23 yang ditumpuk. Setiap segmen melingkar memiliki ketinggian 3 meter. Dalam satu segmen terdiri dari 754 modul berukuran 3 x 4 meter.
Modul ini dapat berupa ukiran dengan berbagai bentuk. Dalam tiap-tiap modul, dibangun dari 1.500 keping.
Sebelum membangun patung, Nuarta membuat model miniatur tiga dimensional yang mencakup setiap detail patung.
Dengan teknik pembesaran skala ini, dia mampu mengubah miniatur patung berukuran 3 meter menjadi patung besar dengan tinggi 75 meter. Dengan cara ini, Nuarta mengatakan GWK mampu bertahn hingga 100 tahun.
Agar bentuk patung dapat dinikmati secara keseluruhan, Nuarta menyarankan pengunjung untuk melihat dari jarak 300 meter.
“Kurang lebih jarak 300 meter, baru bisa menikmati bentuk patungnya,” tuntas dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.