JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia terpilih sebagai tuan rumah pertama di Asean dalam penyelenggara Global Land Forum (GLF) 2018 yang diselenggarakan International Land Coalition (ILC) dan organisasi masyarakat sipil.
Rencananya, pertemuan tersebut diselenggarakan di Gedung Merdeka, Bandung, Jawa Barat pada 22-27 September mendatang.
Pertemuan ini merupakan yang kedelapan sejak penyelenggaraannya pertama kali di Roma, Italia pada 2003 lalu.
Baca juga: Berikut Usulan Baru RUU Pertanahan
Setelah itu, pertemuan dilanjutkan di Santa Cruz, Bolivia (2005), Entebbe, Uganda (2007), Kathmandu, Nepal (2009), Tirana, Albania (2011), Antigua, Guatemala (2013), dan terakhir di Dakkar, Senegal (2015).
Terpilihnya Indonesia sebagai tuan rumah oleh Dewan Global ILC lantaran dinilai memiliki perkembangan yang cukup signifikan dalam hal reforma agraria.
Sejak 2014, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperlihatkan sejumlah komitmen untuk membangun desa dan pertanian dengan cara memperluas akses kepemilikan dan pengelolaan warga negara kepada tanah dan hutan.
Salah satunya yakni tertuang di dalam RPJMN, pemerintah menargetkan redistribusi tanah seluas 9 juta hektar melalui agenda reforma agraria bagi petani.
"Harapan kami, dari masyarakat sipil dan pemerintah, GLF 2018 yang merupakan forum terbesar di dunia terkait pembicaraan pertanahan terbaru, juga tentu saja tukar menukar gagasan paling akbar bisa menginspirasi adanya spirit baru," tutur Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin di Jakarta, Jumat (3/8/2018).
Deputi II Kantor Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho menambahkan, dipilihnya Bandung sebagai lokasi penyelenggaraan tidak terlepas dari spirit kemerdekaan pada masa-masa awal kebebasan dahulu.
"Kali ini kami berharap Indonesia bisa menjadi inspirasi penataan kembali hak atas tanah," kata dia.
Yanuar menegaskan, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri dalam melaksanakan program reforma agraria. Dibutuhkan peran serta organisasi masyarakat sipil untuk mewujudkannya.
"Karena masalah yang kita hadapi kompleksitasnya tinggi, sehingga tidak bisa diselesaikan pemerintah sendiri," imbuh dia.
Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga mengatakan, GLF dapat menjadi ajang positif untuk saling bertukar pikiran antara organisasi masyarakat Tanah Air dengan organisasi masyarakat internasional.
Selama ini, masyarakat sipil selalu berupaya memperjuangkan hak asasi manusia kelompok masyarakat kecil, seperti petani, nelayan, masyarakat adat, dan kaum miskin kota, yang terkendala atas persoalan tanah.
"Kita tahu dalam reforma agraria persoalannya sangat kompleks, tapi kita percaya dengan proses bersama, menyelenggarakan GLF, persahabatan, dialog bisa ditingkatkan, sehingga pasca GLF ada kodnisi lebih baik bagi petani, nelayan, masyarakat adat yang hidupnya bergantung atas tanah," paparnya.
GLF 2018 mengusung tema 'United for Land Rights, Peace and Justice' dengan tujuan mempromosikan tata kelola pertanahan untuk mengatasi ketimpangan, kemiskinan, permasalahan konflik, HAM dan pembangunan pedesaan.
Pertemuan ini akan diikuti sekitar 900 orang dari 77 negara yang mewakili organisasi pembangunan internasional, badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lembaga pemerintahan, akademisi hingga organisasi masyarakat sipil.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.