SEJUMLAH kecelakaan kerja pada proyek infrastruktur pemerintah dalam beberapa bulan terakhir ini menyedot perhatian berbagai kalangan, terlebih lagi menjelang tahun pertarungan politik nasional 2019.
Tercatat ada 12 kecelakaan kerja selama tujuh bulan dari Agustus hingga akhir Februari 2018, mulai dari longsor lereng tanah, balok girder yang gagal pasang atau terjatuh, hingga kecelakaan alat berat (crane).
Patut disayangkan, karena kecelakaan kerja yang tidak perlu terjadi ini menelan beberapa korban tewas dan terluka parah. Dikatakan tidak perlu karena hampir semua kecelakaan tersebut tidak terjadi saat cuaca ekstrem, gempa, atau gangguan lain, sehingga seharusnya bisa dihindari.
Para tokoh dan elite politik pun ramai menghiasi pemberitaan media nasional, memberikan komentar normatif ataupun nada sinis terhadap kinerja pemerintah.
Sementara tim penyelidik masih melakukan investigasi, banyak dugaan yang sudah dilontarkan ke publik, mulai dari isu korupsi atau mark-up hingga jam kerja yang terlalu tinggi akibat "kejar tayang".
Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) akhirnya memutuskan penghentian sementara atau moratorium untuk proyek-proyek berupa jalan layang dan jembatan hingga proses penyelidikan berakhir.
Beberapa kasus juga telah ditetapkan pihak yang bertanggung jawab seperti ambruknya crane pada proyek rel kereta api ganda di Jatinegara. Kontraktor pelaksana dihukum satu tahun tanpa proyek pemerintah.
Di bidang teknik sipil atau konstruksi, kecelakaan kerja padaproyek infrastruktur sering dikenal sebagai "kegagalan struktur", suatu konstruksi mengalami keruntuhan yang tidak diharapkan akibat kesalahan perencanaan ataupun metode kerja.
Kecelakaan crane atau alat berat di atas, misalnya, kemungkinan besar adalah kesalahan kontraktor selaku penanggung jawab metode kerja. Sementara kesalahan perencana pada kasus lain dapat berupa kesalahan gambar atau perhitungan.
Kegagalan struktur yang sangat fatal di Indonesia pernah terjadi pada November 2011 saat jembatan gantung terpanjang di Indonesia yakni di Kutai Kartanegara ambruk. Kecelakaan ini menelan 23 korban tewas.
Jembatan yang baru berusia 10 tahun tersebut runtuh ketika dilakukan proses perawatan dengan mengangkat dek jembatan sedikit demi sedikit.
Kementerian PUPR pada 2012 telah mengeluarkan pernyataan resmi penyebab insiden tersebut yaitu akumulasi kesalahan sejak awal perencanaan hingga pemeliharaan.
Tiga tersangka dari Dinas PU setampat dan dari pihak kontraktor juga telah dipidana dengan pasal kelalaian yang mengakibatkan korban jiwa dengan ancaman maksimal lima tahun penjara. Namun pengadilan memberikan vonis satu tahun penjara terhadap ketiga terdakwa.
Sementara itu, kegagalan struktur paling parah dalam dekade ini adalah insiden Rana Plaza di Bangladesh pada April 2013 yang mengakibatkan 1.134 korban tewas.
Gedung delapan lantai tersebut awalnya direncanakan hanya untuk toko dan perkantoran, namun ternyata digunakan untuk pabrik produksi tekstil dalam jumlah besar yang mempekerjakan sekitar 5.000 orang.
Akibat beban mesin-mesin berat yang tak sesuai rencana awal, gedung tersebut mengalami beberapa keretakan jelas dan telah dilaporkan ke pengelola pabrik.
Ironisnya, pemilik gedung mengumumkan bahwa gedung dalam keadaan aman dan pemilik pabrik tekstil mengancam akan menahan gaji sebulan pegawai yang menolak bekerja karena alasan keamanan.
Keesokan harinya gedung runtuh seketika pada saat ribuan pekerja sedang sibuk di dalam pabrik. Pada perkembangannya, 15 orang termasuk pejabat kota dan pemilik pabrik diancam dengan pasal pembunuhan.
Insiden-insiden fatal di atas memperlihatkan betapa pentingnya para praktisi konstruksi bekerja dengan sangat hati-hati dan mematuhi aturan.
Seperti adagium yang akrab di kalangan insinyur, seorang dokter malakukan kesalahan mungkin satu orang pasien meninggal, tetapi jika satu insinyur melakukan keteledoran ribuan orang bisa tewas seketika.
Negara kita tentunya juga sudah memiliki instrumen hukum untuk mengantisipasi kecelakaan kerja pada proyek infrastruktur. Hanya, penerapannya perlu diperketat untuk menimbulkan efek takut dan jera.
Sebagai contoh, jika terjadi kecelakaan akibat kondisi jalan raya rusak atau rambu yang tidak jelas, sebenarnya masyarakat bisa menuntut pengelola jalan raya yaitu pemerintah untuk bertanggung jawab berdasarkan pasal 273 UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).
Di Eropa, pasal perlindungan pengguna jalan seperti itu telah dipahami dengan baik oleh masyarakat.
Salah satu hukum tertua pada bidang infrastruktur tercantum dalam hukum Hammurabi 1750 tahun sebelum masehi yang diterapkan Kerajaan Babilonia. Salah satu pasal yang tertulis pada prasasti terdengar sangat kejam.
"Jika sebuah rumah runtuh dan menewaskan anak dari pemilik rumah, maka anak dari si pembangun (insinyur) harus dihukum mati."
Tentu hukum kuno dan terlalu kejam tersebut tak sepantasnya diterapkan di belahan bumi manapun.
Namun, hal ini bisa menjadi peringatan dari nenek moyang kita tentang sangat pentingnya instrumen dan penegakkan hukum di bidang konstruksi karena berkaitan dengan nyawa banyak manusia.
Kembali pada kasus kecelakaan kerja pada proyek infrastruktur akhir-akhir, penyelidikan secara keseluruhan dan transparan mutlak diperlukan untuk mencegah hal-hal serupa terjadi dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, terlebih menjelang tahun pertarungan politik.
Tim Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada suatu proyek juga harus mendapat pengetahuan supaya lebih cermat mengamati tanda-tanda jika akan terjadi insiden atau kegagalan struktur sehingga dapat diambil keputusan secepatnya untuk mengamankan area proyek.
Ahmad Basshofi Habieb
Kandidat doktor di bidang konstruksi dan isolasi gempa di Politecnico di Milano, Italia
PPI Italia (ppidunia.org)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.