Kritis. Inilah kata yang bisa menggambarkan gentingnya kondisi angkutan umum di Indonesia baik di perkotaan maupun pedesaan. Di hampir semua kawasan, angkutan umum berada dalam kondisi yang kian memburuk atau stagnan.
Hal ini terindikasi dari persentase pengguna angkutan umum dari tahun ke tahun yang cenderung menurun dengan perkecualian pengguna KRL di Jabodetabek yang meningkat, dan penumpang BRT di Jakarta yang relatif stabil.
Sementara di sisi lain, kendaraan bermotor pribadi justru semakin meningkat populasi, dan penggunaannya. Akibatnya, kemacetan dan polusi udara kian parah, kualitas hidup dan lingkungan merosot tajam.
Baca juga : Kota, Angkutan Umum, Kendaraan Pribadi, dan Dilema Transportasi
Pertanyaan yang harus diajukan adalah mengapa hal ini bisa terjadi?
Melihat sejarahnya, sesungguhnya angkutan umum pernah mengalami masa jaya ketika perekonomian Indonesia mulai berkembang. Periode 1970-an hingga akhir 1980-an ketika belum banyak masyarakat yang memiliki akses terhadap kendaraan bermotor pribadi.
Namun, ketika perekonomian kian membaik terutama pasca krisis ekonomi pada awal 2000-an, situasi berbalik.
Dengan perbaikan kondisi infrastruktur jalan, kemudahan logistik ke seluruh pelosok, perbaikan dan peningkatan ekonomi, plus kemudahan fasilitas keuangan, populasi dan penggunaan kendaraan bermotor pribadi pun melonjak terutama di kawasan Jabodetabek dan Pulau Jawa.
Masyarakat dengan ekonomi yang meningkat, dan terdidik, makin sadar akan hak dan kebutuhannya. Tuntutan perbaikan layanan yang ingin didapatkan juga bertambah. Demikian pula dengan tuntutan pemenuhan kebutuhan pergerakannya.
Namun, ketika kebutuhan pergerakan tersebut tidak dapat diakomodasi dengan baik, mereka pun dengan mudah dan cepat beralih ke kendaraan pribadi.
Fenomena ini diperparah dengan belum siapnya para pelaku industri angkutan umum dalam menangkap perubahan preferensi konsumen serta kondisi pasar dengan cepat dan tepat.
Pelaku industri angkutan umum terlihat lambat merespon perubahan pola pasar terutama di kawasan perkotaan dan pedesaan yang masih mengandalkan bus serta minibus yang kondisinya serta layanannya tidak berubah banyak.
Dapat dikatakan hanya industri taksi yang pada awalnya masih dapat mengikuti perubahan pola pasar ini meskipun pada akhirnya tak luput dihantam oleh krisis perekonomian 2009-2010 yang diperparah dengan kemunculan angkutan berbasis aplikasi.