Hal itu terutama didukung dengan naiknya jumlah tenaga tenaga produktif di Indonesia yang jumlahnya saat ini kurang lebih 71 juta orang dan akan naik dua kali lipat menjadi 142 juta anak muda atau generasi meilenial.
"Kami sadar ada perubahan perilaku pasar dari segmen yang besar ini. Pola spending uang berubah dari product base spending ke experince spending. Mereka (kaum milenial) harus merasakan dulu, lalu lihat produknya, dan atau mendapat rekomendasi dari orang lain terkait profuk yang akan dibelinya. Mereka tidak mudah percaya iklan yang disuguhkan, jadi harus benar-benar dari pengalaman langsung konsumen," ujar Winang.
Winang memahami bahwa anak-anak milenial lebih memilih menghabiskan uangnya untuk berwisata, makan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pengalaman, bukan aset. Tapi, hal itu seiring waktu akan segera berubah.
Pada akhirnya, lanjut Winang, generasi milenial akan tetap butuh hunian yang tentu sesuai kebutuhan dan perilakunya yang berbeda dari generasi sebelum mereka. Namun, hunian itu harus sangat sesuai ciri khasnya yang tak mau susah dan serba cepat. Maka, yang cocok adalah apartemen, dalam hal ini apartemen terintegrasi dengan transit oriented development atau TOD. Maka, harus dibangun dekat dengan shelter moda transportasi umum.
"Mereka tak butuh apartemen mewah. Yang penting di lingkungan harus ada internet (WiFi) dan tempat nongkrong. Memang, tidak semua anak-anak itu akan berpikir beli rumah. Maka itu, kini disiapkan apartemen-apartemen di dekat stasiun commuter line TOD, baik itu apartemen subsidi maupun nonsubsidi," tambah Winang.
Andy K Natanael, founder Projek, yakni aplikasi properti pada IOS/Android yang mempertemukan antara developer, agen pemasaran dan konsumen serta lelang properti online, mengatakan hal senada.
Andy mengatakan, untuk menangkap besarnya potensi pasar kalangan milenial adalah dengan melakukan strategi baru dalam pemasaran. Menurut dia, generasi ini tidak bisa dijanjikan hanya dengan iklan, tapi harus mengedukasi mereka akan manfaat produk hunian yang akan dibelinya.
"Digital marketing itu sudah benar, cuma banyak yang salah kaprah. Digital marketing hanya dianggap cukup dengan bermain iklan lewat media sosial seperti Facebook atau Youtube, tapi tidak mengubah paradigma berpikir mereka, para milenial itu. Kemampuan anak-anak itu (milenial) beli properti ada, tapi kemauannya untuk beli itu yang dilupakan. Itu butuh strategi," ujar Andy.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.