JAKARTA, KompasProperti - Ketua Dewan Pembina DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Eddy Ganefo menampik alasan pemerintah yang menyebut pengembang tak mampu memasok kebutuhan rumah sesuai target yang ditetapkan.
Dengan alasan itu, pemerintah pun akhirnya merevisi target pembangunan rumah dari 345.000 unit menjadi 279.000 unit pada Program Nasional Pembangunan Sejuta Rumah.
Menurut Eddy, rendahnya kemampuan konsumen di daerah dalam membeli rumah, yang menyebabkan pasokan tak capai target.
Baca: Salah Prediksi, Pemerintah Turunkan Target Sejuta Rumah
"Jadi jangan salahkan pengembang. Ini kesannya cuci tangan. Sekarang pasarnya ada enggak?" tegas Eddy kepada KompasProperti, Rabu (26/7/2017).
Saat ini, ia menjelaskan, pasar terbesar sektor properti di Tanah Air berasal dari pembelian rumah subsidi.
Namun, pemerintah justru memangkas anggaran subsidi yang disalurkan melalui mekanisme Fasilitas Likuiditas Pembangunan Perumahan (FLPP), yaitu dari Rp 9,7 triliun menjadi Rp 3,1 triliun.
Meski ada mekanisme pembiayaan lain bagi rumah subsidi, yaitu dengan Subsidi Selisih Bunga (SSB), tidak banyak bank yang mampu menyalurkan hal tersebut.
"(Kalau SSB) berarti bank harus menanggung 100 persen beban akad kredit. Kalau dengan FLPP hanya 10 persen," kata dia.
Selain itu, Eddy juga mempertanyakan komitmen Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) serta pemerintah daerah dalam menyediakan rumah subsidi bagi masyarakat.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Paket Kebijakan Ekonomi Jilid XIII yang isinya menghapus atau mengurangi berbagai perizinan dan rekomendasi yang diperlukan untuk membangun rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Bila sebelumnya diperlukan 33 izin dan tahapan, dengan adanya paket kebijakan itu dipangkas menjadi 11 izin dan rekomendasi.
Pengurangan ini juga berdampak pada waktu pembangunan MBR yang selama ini rata-rata mencapai 769-981 hari, dipercepat menjadi 44 hari.
Akan tetapi dalam pelaksanaanya, pemda (pemerintah daerah) seringkali mengabaikan paket kebijakan ekonomi tersebut. Selain itu, ia menilai, Kementerian PUPR kurang maksimal dalam mengawasi implementasi paket kebijakan itu.
"Itu koordinatornya siapa? Dirjen Perumahan kan. Kalau menteri, tentu sudah banyak kerjaannya ngurusin infrastruktur," kata dia.
Ia menambahkan, pengembang pada dasarnya merupakan pelaku usaha. Tak hanya pengembang kecil, pengembang besar tentu akan 'turun gunung' bila melihat peluang yang ada cukup baik.
"Masalahnya konsumen yang mampu ini mana, mereka perlu subsidi tapi dikurangi. Belum lagi Paket Kebijakan Ekonomi 13 di kabupaten/kota itu tidak direalisasikan," tuntasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.