CIREBON, KOMPAS.com - Brebes sekarang adalah trauma. Di kota ini, jutaan pemudik dipaksa harus mengalami absurditas perjalanan pulang kampung yang tidak biasa.
Bahkan, Brebes dalam tiga hari terakhir berada di luar nalar kita. Jarak 6 kilometer dari Bangsri ke pusat kota sentra telor asin ini harus ditempuh dalam waktu 7 jam.
Karena itu, mudah dimafhumi jika seorang Ratna Luisiana Dewi memilih untuk tidak lagi menerima penderitaan secara sadar, laku dan ritual mudik lewat darat.
"Ini perjalanan mudik paling heboh, dahsyat, di luar logika. Saya trauma, tidak mau lagi mudik lewat darat," ungkap Ratna kepada Tim Merapah Trans Jawa Kompas.com, Senin (4/7/2016).
Dia dan temannya menghabiskan tiga perempat waktu dari total 45 jam perjalanan Jakarta-Solo di Brebes melalui jalur lintas utara Jawa. Padahal jarak Jakarta-Solo 571 kilometer.
Ini artinya, untuk sampai di Solo, Ratna menghabiskan waktu dua malam tiga hari.
"Luar biasa," kata dia.
Ratna dan teman seperjalanannya berangkat dari Terminal Grogol pada pukul 17.00 WIB Sabtu (2/7/2016) dengan menumpang bis Sindoro bertarif Rp 395.000.
Seharusnya, tarifnya Rp 330.000, namun karena bisnya dilengkapi toilet, Ratna diminta membayar uang tambahan sebesar Rp 65.000.
Setibanya di Kanci pada pukul 23.00 WIB, perasaan dan emosi Ratna masih sama dengan saat memulai perjalanan.
Namun, kesan itu berubah ketika sampai di Brebes dan bis yang ditumpanginya tak kunjung bergerak.
Untuk dua-tiga jam, Ratna masih bersabar menunggu meskipun ada sedikit kegelisahan. Ketika Sindoro hanya bergeser sekian meter dalam hitungan jam, dia mulai menyadari harus menerima kenyataan tersebut sebagai bagian dari sensasi perjalanan mudik.
Hingga Minggu (3/7/2016) malam, Ratna dan bis Sindoronya masih berada di kota bawang.
Sepanjang waktu itu, perempuan bersuara merdu ini bolak-balik ke toilet, makan, dan tidur. Bukan untuk sekadar membunuh waktu, tentu saja, melainkan untuk mengusir cemas, dan gelisah.
"Kami tiba di Solo tepat pukul 13.00 WIB Senin siang ini. Bayangkan, saya kapok. Macet mudik kali ini paling parah. Dua tahun lalu, Jakarta-Solo hanya 20 jam," cetus dia.
Ratna tak sendiri, ada jutaan pemudik lainnya mengalami nasib serupa. Sutrisno yang menuju Solo, Toto Soepriyanto Boerham yang pulang ke Purwokerto, dan Hestiana yang mengarah ke Wonosobo adalah tiga di antaranya.
Bedanya, mereka bertiga melintasi jalan tol Jakarta-Cikampek, Cikopo-Palimanan, Palimanan-Kanci, Kanci-Pejagan, hingga Pejagan-Brebes Timur.
Namun, ketika ditanya tentang "Brebes", mereka mengungkapkan hal yang sama yakni "Luar biasa parah macetnya".
Toto harus menempuh waktu Jakarta-Purwokerto selama 22 jam, Sutrisno harus melakoni jarak Cibubur-Solo 36 jam, dan Hestiana berada di ruas Pejagan-Brebes selama 12 jam dan hingga kini masih tertahan di Pemalang.
Mereka tak menampik, melintasi ruas tol Pejagan-Brebes Timur adalah tantangan menarik. Akan tetapi, hal menarik itu berubah menjadi sumber kegelisahan dan kekecewaan.
Bagi mereka, pemerintah abai mengantisipasi lonjakan pemudik yang keluar dari gerbang tol (GT) Brebes Timur.
Manajemen lalu lintas berupa rekayasa sistem satu arah dan juga contra flow di dalam kota Brebes sebagai simpul kemacetan, dianggap sebagai langkah keliru.
"Seharusnya pemerintah sudah mengantisipasi jalur-jalur alternatif yang bisa digunakan pemudik saat jalan tol terpantau padat," kata mereka kompak.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.