Bahkan dengan lantang Andre menyebut hal tersebut merupakan imbas dari turbo kapitalisme dan anti intelektualisme selama 50 tahun yang didoktrin pihak Barat melalui Presiden Soeharto dan para pengikutnya.
Apa yang terjadi tersebut menurut Andre merupakan fungsi dari sebuah koloni kekaisaran. Andre juga menambahkan hal itu semakin buruk dengan adanya acara televisi tak mendidik, musik pop, film buruk, fragmentasi perkotaan, infrastruktur hancur, segala macam agama, dan struktur keluarga yang menindas.
Bandung, di mata Andre merupakan kota tanpa variasi dan tanpa jalan keluar. Andre juga menganggap Indonesia memiliki kemungkinan besar akan berakhir seperti itu.
Andre secara sarkastik mengajak publik merayakan "kreativitas" kota Bandung yang telah diredefinisi sebagai sebuah kebosanan dan kegelisahan.
Kritik Andre tak berhenti sampai di situ. Andre mengkritik hampir setiap lini kota Bandung seperti patung besar Rambo yang memegang peluncur misil, poster Hitler yang dijual di pinggir jalan, budaya topeng monyet, dan pengemis cilik yang berkeliaran di jalan-jalan.
Andre merasa Bandung tak pantas masuk sebagai kota kreatif dan ingin tahu apa kriteria UNESCO untuk hal tersebut. Andre juga ingin bertemu dengan pihak-pihak yang memasukkan Bandung dalam kategori tersebut, pihak-pihak yang menurutnya sangat tidak keberatan dengan semua hal berbau fasisme dan penerapan kembali konsep kekaisaran sambil mengatakan mereka "tidak tahu malu!" kepada mereka.
Kendati begitu, Andre melihat bahwa ada satu tempat di Bandung yang seharusnya menjadi perhatian UNESCO namun hal itu tidak diperhatikan. Tempat tersebut adalah Museum Konferensi Asia Afrika (KAA) dan menurut Andre bisa menjadi salah satu gedung paling penting di Asia.
Museum KAA merupakan tempat digelarnya konferensi antar negara Asia dan Afrika dalam rangka menentang imperialisme. Tapi nyatanya tempat itu tidak pernah masuk menjadi salah satu warisan dunia.