KOMPAS.com - Terpilihnya Bandung sebagai salah satu kota kreatif di dunia oleh UNESCO mengundang kritikan berbagai pihak.
Salah satunya datang dari penulis, filsuf, novelis, dan jurnalis investigasi, Andre Vltchek yang mempertanyakan klaim UNESCO tersebut.
Dalam kritiknya tersebut, Andre menyebut UNESCO sebagai salah satu organisasi dalam Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menunjukan kota yang salah untuk mendapat pujian dan penghargaan tersebut.
Andre secara terang-terangan menyatakan tidak ada hal kreatif apapun tentang Bandung. Bandung hanya sekadar kota berpenduduk 2,5 juta jiwa dengan kriteria serupa penduduk kota lainnya di Indonesia yang hanya melakukan tiga "aktivitas budaya dan sosial," yakni makan, berkumpul bersama keluarga, dan beribadah.
Kritik tajamnya terus berlanjut dengan menyebut Bandung tak memiliki satu gedung konser permanen pun yang mampu mengubahnya menjadi semacam "kota tempat belajar."
Andre juga menambahkan Bandung tidak memiliki bioskop seni dan museum yang layak. Taman-taman di Bandung pun ia anggap kecil, kotor dan tak saling berhubungan.
Beberapa mal dan bioskop komersial di sana bahkan menurutnya hanya menampilkan sampah Hollywood rendahan.
Sisanya, menurut Andre, sama dengan tempat lain di Indonesia yang terlalu komersial dan memiliki perluasan kota cenderung putus asa dan tanpa perencanaan.
Andre juga menyinggung ratusan "butik" atau toko yang menjual barang-barang palsu atau KW, baik lokal maupun luar negeri.
Andre bahkan tahu jika barang KW tersebut memiliki beberapa tingkatan sesuai dengan tingkat kemiripannya dengan barang aslinya.
Andre juga sedikit menyorot sejarah dan mengatakan bahwa para pengawas dan peneliti dari Organisasi Perdagangan Dunia akan sangat senang bila melakukan serangan terhadap kota-kota dalam wilayah musuh Barat, seperti China dan Vietnam.
Tetapi sejak tahun 1965 terdapat pembantaian yang diatur oleh Barat dengan sekitar 2 sampai 3 juta komunis lokal dan intelektual dibantai, Indonesia secara tegas dianggap teman dan sekutu terpercaya.
Bandung sendiri menjadi salah satu lokasi pembantaian tersebut dan atas hal itu, Andre lantas melancarkan kritik sarkas yang menyebut apakah pembantaian itu sebagai sebuah sikap "kreatif" dan masih bisa dipuji bahkan diperingati oleh masyarakat internasional selama bertahun-tahun.
Kritik Andre berlanjut kepada transportasi umum dan menyebut Bandung kini tidak memiliki transportasi umum yang bisa dibanggakan.
Andre kemudian menantang publik membayangkan sebuah kombinasi kota antara Brussels dan Amsterdam atau Nagoya, tercekik karena polusi udara dan dibanjiri skuter-skuter bau.
Dia mempertanyakan bagaimana kota tanpa kereta bawah tanah, tanpa jaringan kereta super sibuk, tanpa trem, dan tanpa underpass seperti Bandung bisa menjadi kota kreatif menurut UNESCO.
Satu hal yang menurut Andre lebih buruk adalah ketiadaan perpustakaan besar di Bandung dan ketiadaan proyek-proyek seni kecuali untuk satu atau dua galeri di pinggiran kota.
Dalam kritiknya, Andre membagi pengalaman temannya yang campuran Indonesia-China dan juga seorang musisi piano lulusan Sekolah Musik Manhattan yang dipaksa pindah dari New York ke Bandung oleh keluarganya.
Ketika di Bandung, dia mencoba tetap bekerja dan menerangi kota tersebut. Demi mengadakan sebuah konser, teman Andre tersebut lantas membeli sebuah keyboard dan berlatih siang dan malam.
Singkatnya, konser tersebut ia laksanakan selama setidaknya sekali dalam setahun. Konser berkelas dunia itu tidak berlangsung lama dan karya seninya tersebut sama sekali tidak diapresiasi.
Pukulan terakhir datang ketika teman Andre tampil di Institut Budaya Perancis di Bandung, yang disebut Andre sebagai aula kotor penuh tikus yang menjadi satu-satunya opsi menggelar konser piano.
Selama konser berlangsung, publik bangun dan mendatanginya dan mulai mengeluarkan ponsel dan kamera sambil terus mengarahkan flash ke dirinya.
Setelah itu, teman Andre tersebut menjual segala sesuatu miliknya dan perlahan mulai kehilangan rambutnya. Lagi-lagi, Andre melancarkan kritiknya dan menyebut itulah hidup musisi di Bandung, "kota kreatif."
Ada banyak lembaga atau tempat-tempat aneh di Bandung seperti bar Nazi yang disebut "Soldaten Kaffee." Di sana terdapat banyak simbol swastika dan gambar diri Adolf Hitler.
Saung Udjo, tempat bermain angklung, alat musik yang sudah masuk menjadi salah satu warisan dunia juga tak luput dari sasaran kritik Andre.
Menurutnya salah satu destinasi wisata Bandung itu telah menyelewengkan budayanya sendiri dengan lebih banyak memainkan musik pop Barat melalui angklung tersebut.
Andre bahkan menyebut bahwa publik lebih sering mendengar lagu Delilah dan I did it my way ketimbang musik Sunda itu sendiri. Dia nerpendapat jika seharusnya UNESCO mengeluh dan mengancam akan hal tersebut, namun tidak demikian adanya.
Kritik Andre semakin menjadi dengan menyebut Bandung sebagai kota tanpa musik hebat, tanpa teater, tanpa konsep arsitektur yang berani, taman, dan tempat-tempat umum lainnya.
Bahkan dengan lantang Andre menyebut hal tersebut merupakan imbas dari turbo kapitalisme dan anti intelektualisme selama 50 tahun yang didoktrin pihak Barat melalui Presiden Soeharto dan para pengikutnya.
Apa yang terjadi tersebut menurut Andre merupakan fungsi dari sebuah koloni kekaisaran. Andre juga menambahkan hal itu semakin buruk dengan adanya acara televisi tak mendidik, musik pop, film buruk, fragmentasi perkotaan, infrastruktur hancur, segala macam agama, dan struktur keluarga yang menindas.
Bandung, di mata Andre merupakan kota tanpa variasi dan tanpa jalan keluar. Andre juga menganggap Indonesia memiliki kemungkinan besar akan berakhir seperti itu.
Andre secara sarkastik mengajak publik merayakan "kreativitas" kota Bandung yang telah diredefinisi sebagai sebuah kebosanan dan kegelisahan.
Kritik Andre tak berhenti sampai di situ. Andre mengkritik hampir setiap lini kota Bandung seperti patung besar Rambo yang memegang peluncur misil, poster Hitler yang dijual di pinggir jalan, budaya topeng monyet, dan pengemis cilik yang berkeliaran di jalan-jalan.
Andre merasa Bandung tak pantas masuk sebagai kota kreatif dan ingin tahu apa kriteria UNESCO untuk hal tersebut. Andre juga ingin bertemu dengan pihak-pihak yang memasukkan Bandung dalam kategori tersebut, pihak-pihak yang menurutnya sangat tidak keberatan dengan semua hal berbau fasisme dan penerapan kembali konsep kekaisaran sambil mengatakan mereka "tidak tahu malu!" kepada mereka.
Kendati begitu, Andre melihat bahwa ada satu tempat di Bandung yang seharusnya menjadi perhatian UNESCO namun hal itu tidak diperhatikan. Tempat tersebut adalah Museum Konferensi Asia Afrika (KAA) dan menurut Andre bisa menjadi salah satu gedung paling penting di Asia.
Museum KAA yang menjadi tempat Presiden Soekarno berpidato melawan kolonialisme membuat Barat kemudian ingin menghancurkan Indonesia beserta pemerintahannya. Andre menyebut Museum KAA sebagai awal dari runtuhnya Bandung dan Indonesia.
"Bandung sebagai kota kreatif dunia" tak lebih dari cap persetujuan UNESCO kepada teror yang Indonesia derita melalui tangan Amerika Serikat, Eropa, dan sekutunya.
Andre menilai betapa paradoks dan sinisnya cap tersebut diberikan UNESCO yang merupakan Organisasi PBB yang begerak di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan budaya.