Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pantaskah Bandung Menyandang Kota Kreatif Dunia?

Kompas.com - 08/02/2016, 19:06 WIB
Ridwan Aji Pitoko

Penulis


Menurutnya, sebuah keajaiban bagi UNESCO apabila melihat sisi kreatif Bandung dari banyaknya toko barang KW di sana.

Andre juga sedikit menyorot sejarah dan mengatakan bahwa para pengawas dan peneliti dari Organisasi Perdagangan Dunia akan sangat senang bila melakukan serangan terhadap kota-kota dalam wilayah musuh Barat, seperti China dan Vietnam.

Tetapi sejak tahun 1965 terdapat pembantaian yang diatur oleh Barat dengan sekitar 2 sampai 3 juta komunis lokal dan intelektual dibantai, Indonesia secara tegas dianggap teman dan sekutu terpercaya.

Bandung sendiri menjadi salah satu lokasi pembantaian tersebut dan atas hal itu, Andre lantas melancarkan kritik sarkas yang menyebut apakah pembantaian itu sebagai sebuah sikap "kreatif" dan masih bisa dipuji bahkan diperingati oleh masyarakat internasional selama bertahun-tahun.

Kritik Andre berlanjut kepada transportasi umum dan menyebut Bandung kini tidak memiliki transportasi umum yang bisa dibanggakan.

Andre kemudian menantang publik membayangkan sebuah kombinasi kota antara Brussels dan Amsterdam atau Nagoya, tercekik karena polusi udara dan dibanjiri skuter-skuter bau.

Dia mempertanyakan bagaimana kota tanpa kereta bawah tanah, tanpa jaringan kereta super sibuk, tanpa trem, dan tanpa underpass seperti Bandung bisa menjadi kota kreatif menurut UNESCO.

Satu hal yang menurut Andre lebih buruk adalah ketiadaan perpustakaan besar di Bandung dan ketiadaan proyek-proyek seni kecuali untuk satu atau dua galeri di pinggiran kota.

Dalam kritiknya, Andre membagi pengalaman temannya yang campuran Indonesia-China dan juga seorang musisi piano lulusan Sekolah Musik Manhattan yang dipaksa pindah dari New York ke Bandung oleh keluarganya.

Ketika di Bandung, dia mencoba tetap bekerja dan menerangi kota tersebut. Demi mengadakan sebuah konser, teman Andre tersebut lantas membeli sebuah keyboard dan berlatih siang dan malam.

Singkatnya, konser tersebut ia laksanakan selama setidaknya sekali dalam setahun. Konser berkelas dunia itu tidak berlangsung lama dan karya seninya tersebut sama sekali tidak diapresiasi.

Pukulan terakhir datang ketika teman Andre tampil di Institut Budaya Perancis di Bandung, yang disebut Andre sebagai aula kotor penuh tikus yang menjadi satu-satunya opsi menggelar konser piano.

Selama konser berlangsung, publik bangun dan mendatanginya dan mulai mengeluarkan ponsel dan kamera sambil terus mengarahkan flash ke dirinya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com