JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana penyatuan kawasan Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jadebotabek) tak hanya melulu mengintegrasikan masalah transportasi, melainkan seluruh aspek perkotaan.
Pasalnya, sebagai salah satu metropolitan terbesar di dunia, Jadebotabek memiliki kompleksitas dan ragam tantangan penyelenggaraan kota yang sama dengan metropolitan lainnya seperti New York, Tokyo, London, New Delhi, Beijing dan lain-lain.
Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Bernardus Djonoputro mengungkapkan pendapatnya terkait Integrasi Kawasan Jadebotabek yang diwacanakan Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), kepada Kompas.com, Senin (2/11/2015).
Menurut Bernardus, dengan Jakarta sebagai pusatnya yang berpenduduk nyaris 12 juta jiwa dan keseluruhan metropolitan hampir 28 juta jiwa, pengelolaan Jadebotabek harus mencakup enam aspek krusial.
Aspek-aspek tersebut harusnya menjadi dasar pengelolaan regional kawasan metropolitan Jadebotabek. Bernardus mencontohkan, dalam hal pengelolaan transportasi sebagai aspek pertama. Sebagai langkah awal dalam mengelola pergerakan 2 juta komuter per hari, membangun jaringan berbasis rel adalah langkah yang bagus dan laik diapresiasi.
Dia kemudian merujuk Tokyo dengan 14 juta penduduk kota dan 34 juta kawasan metropolitannya. Kota ini memiliki 158 jalur pelayanan, 48 operator kereta, 4.700 kilometer jalur kereta dan 2.210 stasiun.
Demikian halnya dengan Sinjuku sebagai salah satu kota dengan stasiun dan TOD utama, setiap hari melayani perjalanan lebih dari 3 juta orang.
"Jadi, bisa dibayangkan pembangunan transportasi massal yang harus segera kita lakukan agar metropolitan Jadebotabek tidak berhenti total dan terus berkembang, serta menjadi kota dunia," tutur Bernardus.
Aspek berikutnya adalah pengelolaan air yang harus profesional dan efektif. Bernardus menyebut kasus kekurangan air di metropolitan Sao Paulo dan Campinas. Dengan lebih dari 24 juta orang penduduk, pemerintah setempat belum sanggup menyelesaikan masalah defisit ai ini hingga menyebabkan konflik berkelanjutan.
Jalan keluarnya kemudian pemerintah setempat membentuk manajemen DAS Alto Tietê untuk mengatur manajemen air dengan melibatkan perusahaan air Sabesp bersama 39 pemerintah daerah. Sampai sekarang mereka baru menyelesaikan kurang dari 60 persen permasalahan air.
Isu-isu tersebut, lanjut Bernardus, harus dipecahkan melalui kacamata regional dengan penekanan pada keberlanjutan, kemasyarakatan dan daya saing regional. Dengan pendekatan itu pemerintah daerah terkait dapat selalu melihat pentingnya peran sistem regional seperti transportasi, air bersih, perumahan dan lapangan kerja dalam skala metropolitan.
Karena itu, masalah metropolitan bukan dipecahkan dengan menyusun rencana tata ruang wilayah (RTRW) metropolitan baru tersendiri. Sebaliknya, menurut Bernardus, yang harus dilakukan adalah menyusun strategi regional metropolitan yang memiliki validasi dan menyambung semua rencana detail tata ruang (RDTR) dari daerah-daerah metropolitan tersebut.
"Strategi pembangunan Jadebotabek hendaknya disusun melalui proses yang melibatkan semua kota dan kabupaten serta provinsi Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Yang terpenting adalah menyusun standar pelayanan pada skala regional. Semua harus mematuhi itu," tegas Bernardus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.