Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Enam Aspek Penentu Keberhasilan Integrasi Jadebotabek

Kompas.com - 02/11/2015, 11:00 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana penyatuan kawasan Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jadebotabek) tak hanya melulu mengintegrasikan masalah transportasi, melainkan seluruh aspek perkotaan. 

Pasalnya, sebagai salah satu metropolitan terbesar di dunia, Jadebotabek memiliki kompleksitas dan ragam tantangan penyelenggaraan kota yang sama dengan metropolitan lainnya seperti New York, Tokyo, London, New Delhi, Beijing dan lain-lain.

Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Bernardus Djonoputro mengungkapkan pendapatnya terkait Integrasi Kawasan Jadebotabek yang diwacanakan Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), kepada Kompas.com, Senin (2/11/2015). 

Menurut Bernardus, dengan Jakarta sebagai pusatnya yang berpenduduk nyaris 12 juta jiwa dan keseluruhan metropolitan hampir 28 juta jiwa, pengelolaan Jadebotabek harus mencakup enam aspek krusial. 

KOMPAS/ANTONY LEE Kawasan Puncak di Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, daerah tangkapan air Sungai Ciliwung, semakin padat akibat perkembangan permukiman yang pesat seperti terlihat, Kamis (4/4/2013). Berdasar data Pusat Pengkajian, Perencanaan, dan Pengembangan Wilayah Institut Pertanian Bogor, kurun wakru 1990-2010, sebanyak 1.100 hektar hutan lebat dan belukar hilang, beralih fungsi di DAS Ciliwung hulu di Cisarua. Hal ini membuat potensi banjir Sungai Ciliwung di hilir semakin besar.
Seluruh kota dunia, meski beda pengelolaan, hampir pasti memperhatikan enam aspek utama ini yakni daya dukung lahan, transportasi publik massal, pengembangan berbasis akses transportasi atau transit oriented development (TOD), pengelolaan berbasis daerah aliran sungai (DAS), pengelolaan utilitas publik terindikasi seperti energi, air bersih, sampah, broadband,  dan ketahanan terhadap bencana.

Aspek-aspek tersebut harusnya menjadi dasar pengelolaan regional kawasan metropolitan Jadebotabek. Bernardus mencontohkan, dalam hal pengelolaan transportasi sebagai aspek pertama. Sebagai langkah awal dalam mengelola pergerakan 2 juta komuter per hari, membangun jaringan berbasis rel adalah langkah yang bagus dan laik diapresiasi.

Dia kemudian merujuk Tokyo dengan 14 juta penduduk kota dan 34 juta kawasan metropolitannya. Kota ini memiliki 158 jalur pelayanan, 48 operator kereta, 4.700 kilometer jalur kereta dan 2.210 stasiun. 

Demikian halnya dengan Sinjuku sebagai salah satu kota dengan stasiun dan TOD utama,  setiap hari melayani perjalanan lebih dari 3 juta orang.

KOMPAS/PRIYOMBODO Aktivitas pekerja di proyek pengeboran terowongan untuk angkutan massal cepat (Mass Rapid Transit/MRT) di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (29/10). Saat ini pengeboran telah mencapai jarak sekitar 120 meter menuju stasiun Senayan.
Sementara Jakarta? Saat ini, baru mau mulai membangun 12 kilometer mass rapid transit (MRT) lajur pertama.

"Jadi, bisa dibayangkan pembangunan transportasi massal yang harus segera kita lakukan agar metropolitan Jadebotabek tidak berhenti total dan terus berkembang, serta menjadi kota dunia," tutur Bernardus.

Aspek berikutnya adalah pengelolaan air yang harus profesional dan efektif. Bernardus menyebut kasus kekurangan air di metropolitan Sao Paulo dan Campinas. Dengan lebih dari 24 juta orang penduduk, pemerintah setempat belum sanggup menyelesaikan masalah defisit ai ini hingga menyebabkan konflik berkelanjutan.

Jalan keluarnya kemudian pemerintah setempat membentuk manajemen DAS Alto Tietê untuk mengatur manajemen air dengan melibatkan perusahaan air Sabesp bersama 39 pemerintah daerah. Sampai sekarang mereka baru menyelesaikan kurang dari 60 persen permasalahan air.

Isu-isu tersebut, lanjut Bernardus, harus dipecahkan melalui kacamata regional dengan penekanan pada keberlanjutan, kemasyarakatan dan daya saing regional. Dengan pendekatan itu pemerintah daerah terkait dapat selalu melihat pentingnya peran sistem regional seperti transportasi,  air bersih, perumahan dan lapangan kerja dalam skala metropolitan.

KOMPAS/ANTONY LEE Bus angkutan perbatasan terintegrasi busway (APTB) Bogor-Rawamangun, Jumat (15/3/2013) terlihat menunggu penumpang di tepi jalan, sekitar 200 meter dari Terminal Bubulak, Kota Bogor, Jawa Barat. APTB sudah dua hari tidak memasuki Terminal Bubulak karena ditolak sopir angkutan kota rute Bubulak-Terminal Baranangsiang.
"Dengan demikian secara keseluruhan daerah dan kota utamanya dapat mencari solusi terbaik untuk masalah-masalah tersebut yang sejatinya berpangkal pada urbanisasi," imbuh dia.

Karena itu, masalah metropolitan bukan dipecahkan dengan menyusun rencana tata ruang wilayah (RTRW) metropolitan baru tersendiri. Sebaliknya, menurut Bernardus, yang harus dilakukan adalah menyusun strategi regional metropolitan yang memiliki validasi dan menyambung semua rencana detail tata ruang (RDTR) dari daerah-daerah metropolitan tersebut.

"Strategi pembangunan Jadebotabek hendaknya disusun melalui proses yang melibatkan semua kota dan kabupaten serta provinsi Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Yang terpenting adalah menyusun standar pelayanan pada skala regional. Semua harus mematuhi itu," tegas Bernardus.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com