Ekspatriat di Indonesia sebagian besar adalah profesional yakni 34,02 persen. Termasuk di antaranya dokter, guru, analis, pekerja sosial, artis, dan pemimpin rohani. Sementara konsultan sebanyak 22,58 persen, dan manajer 17,02 persen.
Dengan demikian, tambah Handa, jika diasumsikan sepuluh persen saja dari total jumlah ekspatriat tersebut membeli properti, dalam hal ini apartemen senilai Rp 5 miliar, maka dana yang mungkin beredar adalah sekitar Rp 3,74 triliun.
"Memang tidak terlalu signifikan. Dan dampaknya hanya terasa di awal saat PP Nomor 41 tahun 1996 tersebut direvisi. Karena pasar properti Indonesia masih didorong oleh kebutuhan domestik," tandas Handa.
"Free flow"
Karena itu, bila Indonesia memang ingin meraup investasi dan dana asing, jangan tanggung-tanggung. Pasar, kata Handa, menginginkan hal-hal yang tidak seperti PP Nomor 41 tahun 1996. Artinya regulasi ada, tapi tidak bermanfaat.
Buktinya, pasar terutama yang lokal, tidak ingin membeli properti berstatus HP, melainkan HGB di atas tanah milik negara yang diterima secara luas. Sementara HGB atas hak pengelolaan lahan (HPL) yang bermasalah, kalau diperdagangkan secara luas.
"HP itu tidak populer di pasar lokal," sebut Handa.
Sementara pasar asing menginginkan free flow of transaction atau aturan yang tidak disertai embel-embel macam izin tinggal, dan lain sebagainya. Selain free flow of transaction, pasar juga menginginkan free for all.
"Semua bisa bebas melakukan transaksi properti, tidak ada batasan," tutup Handa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.