Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Angkutan Ojek, Kota Baru dan Kegagalan Pemerintah Merancang Ruang Layak Hidup

Kompas.com - 04/06/2015, 09:02 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Isu mobilitas dan pilihan sarana-prasarana transportasi kota yang didengungkan New Cities Foundation, hanyalah satu dari begitu banyak aspek perkotaan. Perkembangannya di Indonesia sangat tergantung pada kualitas perencanaan kotanya.

Oleh karena itu, angkutan seperti ojek dan kendaraan pribadi yang masih digunakan secara masif justru menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menyediakan transportasi massal dan tidak menyusun rencana kota dengan baik.

Ketua Umum Ikatan Ashli Perencanaan Indonesia (IAP) Bernardus Djonoputro, mengutarakan pendapatnya tersebut terkait isu mobilitas dan transportasi perkotaan masa depan yang didengungkan New Cities Foundation, kepada Kompas.com, Rabu (3/6/2015).

Bernardus menuturkan, pilihan arah pertumbuhan kota-kota besar di Indonesia memerlukan perhatian pemerintah segera. Hal ini penting untuk menghindari ketimpangan, dan ketidakseimbangan pertumbuhan. Masih banyak kota dan desa yang tertinggal dari segala aspek. 

Ketika Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Andrinof Chaniago, melansir rencana pembangunan sepuluh kota baru, saat itu pula dibutuhkan penelitian mendasar dan menyeluruh mengenai kesesuaian, daya dukung, dan kesiapan daerah.

"Membangun kota baru tidak seperti membalikkan tangan dan menggambar di atas kertas putih. Harus dilakukan sejalan dengan aturan, kaidah-kaidah perencanaan, dan UU terkait yang sudah ada," ujar Bernardus.


Prioritas

Sebagaimana kita ketahui, kota-kota Indonesia saat ini memasuki tahap pertumbuhan yang tinggi, sehingga penyelesaian 5.000 lebih Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi harus juga menjadi prioritas.

Menurut Bernardus, menyusun Rencana Tata Ruang (RTR) kota baru di Indonesia itu harus dibedakan antara greenfield dan regenerasi kota (urban regeneration) yang lebih dominan. Penurunan kualitas kota-kota kita akibat gentrifikasi kawasan, menuntut rejim perencanaan yang harus fokus pada regenerasi dan revitalisasi kota yang ada.

KOMPAS/PRIYOMBODO Ilustrasi

Mengingat kondisi penyediaan peta dasar, ketersediaan lahan kosong dan koordinasi antar-sektor, rencana pemerintah menyusun rancangan induk sepuluh kota baru tidak bisa secara instan.

"Karena itu, pemerintah harus mempersiapkan investasi dan peta skala besar yang dimandatkan aturan untuk menyusun rencana secara matang. Ini harus dilakukan dan memang mahal," kata Bernardus.

Perencanaan kota sendiri telah diatur dalam Undang-undnag Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan aturan terkait lainnya menyangkut Agraria, Desa, Ruang Pesisir, Lingkungan Hidup dan lain lain. Jadi, produk rencana kota itu bukan hanya dokumen yang cantik dilihat, namun harus sesuai luasan, skala dan besaran kota.

Bernardus mencontohkan Singapura dan kota-kota utama dunia seperti Kopenhagen, Melbourne, Vancouver, yang dirancang pemerintahnya dengan dukungan keberadaan "community of practice" yang kuat. 

 

KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH Petani tengah menuju sawahnya di perladangan di kawasan Danau Toba, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Jumat (17/4/2015).

Dalam kasus ini, Bappenas harus berperan sebagai koordinator, karena badan perencanaan pembangunan harus mampu mengakumulasi pengalaman-pengalaman merencanakan detail kota di kementerian-kementerian teknis.

Sayangnya, di Indonesia, keahlian ini masih sangat minim. Padahal penyusunan rencana dan profesional yang merencanakan sudsh diatur dalam tatanan aturan profesi dan etika, melalui proses sertifikasi perencana dan kepatuhan pada UU dan sanksi-sanksinya.

Dengan demikian, penyusunan rencana kota baru Indonesia harus dilakukan oleh kementerian multi-sektor yaitu Kementerian Agraria & Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN) melalui Direktorat Jenderal Penataan Ruang Nasional, Direktorat Jenderal Pemanfaatan dan Pengendalian Ruang dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kehutanan dan Lingkungan Hidup, dan lain-lain.

"Proses partisipasi publik dan analisa dampak terhadap lingkungan harus juga dilakukan secara penuh dan sesuai aturan," imbuh Bernardus.

Permasalah konflik sektor yang selama ini sulit dipecahkan oleh Badan Koordonasi Penataan Ruang Nasional (BKRPN) harus bisa dihindari dari awal. Dengan begitu, tambah Bernardus, niat mulia pemerintah untuk menciptakan kota yang inklusif, layak hidup dan keberpihakan pada publik tidak terbebani oleh kepentingan politik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau