SINGAPURA, KOMPAS.com - Kendati sama-sama berada di kawasan Asia Tenggara, kondisi aktual Singapura, "Saigon" atau Ho Chi Minh, dan Jakarta sungguh jauh berbeda. Singapura tak bisa dibantah sebagai salah satu kota paling nyaman di dunia atau The Most Livable City yang disematkan oleh berbagai lembaga terkemuka macam The Economist Intelligence Unit (EIU).
Berbeda dengan Jakarta dan Ho Chi Minh yang masih belum selesai dalam menjalani proses transformasi menjadi kota yang melayani warganya. Kedua kota ini memiliki beberapa kesamaan utama dalam perencanaan pembangunan kota. Arah pertumbuhan kota didikte oleh pembangunan mega proyek properti pengembang swasta. Sehingga menimbulkan gated community yang membuat bagian-bagian kota menjadi eksklusif.
Implikasinya pasar properti di Jakarta dan Ho Chi Minh pun bergejolak seiring naik turunnya realisasi investasi di Indonesia dan Vietnam sebagai hub industri regional. Desentralisasi, serta kepemilikan properti oleh asing hampir serupa, dan menjadi masalah yang tak berkesudahan.
Perkembangan pembangunan infrastruktur pun, berjalan sangat lambat. Ho Chi Minh dan Jakarta memulai program pembangunan angkutan massal berbasis rel hampir bersamaan pada periode 2008 sampai 2012 setelah melalui persiapan panjang, perdebatan politik dan negosisasi pinjaman.
Namun demikian, dengan pertumbuhan skala ekonomi yang tinggi, percepatan proses demokratisasi dan desentralisasi, kota Jakarta bertumbuh lebih menjanjikan, dan produk rencana kota semakin menjadi bagian penting dari arah pembangunan kota.
Kontras dengan Singapura yang menurut Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana Indonesia (IAP) Bernardus Djonoputro, dirancang dengan rejim perencanaan kota melalui mekanisme inatruktif atau top down. Hal ini memungkinkan Singapura dapat melakukan pembangunan kawasan kota baru dan distrik-distrik vibrant sesuai rencana (by design), bukan tidak disengaja (by chance).
"Kewibawaan aturan perundangan (planning act) dan turunan produk rencana kota tidak lepas dari kewenangan dan kontrol pemerintah pusat yang kuat," ujar Bernardus kepada Kompas.com, Kamis (28/5/2015).
Selain menciptakan ruang-ruang kota yang layak hidup, ketegasan rejim perencanaan Singapura dibarengi dengan tumbuhnya community of practice dengan sehat di bidang perencanaan kota, arsitektur dan lingkungan binaan. Para ahli dan profesional di bidang-bidang tersebut menjadi aktor penting dalam merancang dan merencanakan kota yang layak huni, layak hidup, dan berskala manusia.
Bernardus melanjutkan, sistem pemerintahan dan rejim yang berkuasa tentu akan menentukan arah kebijakan publik yang dihasilkan. Namun aturan dan norma utama kebijakan publik tiap rejim harus sesuai dengan koridor yang diatur undang-undang sebagai pijakan. Kebijakan publik bertransformasi seiring dengan kemajuan dan perkembangan bangsa.
Oleh karena itu, inovasi dalam menghasilkan kebijakan publik yang efektif harus dibarengi dengan proses check and balances yang ketat. Transformasi Indonesia sejak runtuhnya rejim otoriter pada tahun 1998, akan terus berlanjut hingga 2019.
"Saya menaruh harapan besar bahwa Indonesia akan memilki generasi pemimpin baru dan kebijakan publik yang mumpuni dan pro-rakyat.
Di sektor perencanaan ruang dan wilayah, aturan perundangan yang menata arah kebijakan publiknya saat ini sebenarnya sudah cukup lengkap. Pemerintah pusat dan daerah harus mampu berinovasi, sehingga inklusivitas dan keberpihakan kepada publik tetap terjamin dan menjadi tujuan utama.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.