Meskipun pekerjaan konstruksi di lapangan diklaim sudah mencapai 99 persen dari total panjang 116,75 kilometer dan beberapa hal kritis seperti Jembatan Ciherang sudah diselesaikan serta tinggal menunggu kesiapan usia beton.
Ketua Program Studi Magister dan Doktor Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB), Harun Alrasyid Lubis, mengatakan hal tersebut kepada Kompas.com, Selasa (2/6/2015).
Menurut Harun, butuh waktu panjang setidaknya sekitar limapuluh (50) hari untuk memastikan semua rampung, dan aman bagi Jalan Tol Cikopo-Palimanan untuk difungsikan. Dalam waktu kurang dari dua minggu sebelum Ramadhan adalah target yang tidak masuk akal.
"Jalan tol di Jakarta saja masih banyak menyisakan persoalan. Ini pula di daerah macam Subang, Majalengka, dan Cirebon," ujar Harun.
Jalan tol bisa dikatakan siap beroperasi, lanjut Harun, jika semua "kosmetik"-nya termasuk marka jalan, lampu penerang, rambu lalu lintas, rest area atau tempat istirahat (TI), fasilitas pendukung macam rumah sakit di sekitar area jalan tol, dan lain-lain terbangun.
Lebih jauh Harun menegaskan, kondisi satu persen belum rampung dari total 116,75 kilometer Jalan Tol Cikopo-Palimanan sangat signifikan, yakni belasan kilometer. Itu artinya ada belasan kilometer ruas jalan tol yang harus dikebut pengerjaannya.
Sementara kondisi beton jalan tol, secara teknis, butuh waktu untuk mencapai usia matang (mature). Termasuk ukuran kekerasannya. Selain itu, membangun proyek terkait teknik sipil, baik itu jalan tol, jembatan, atau infrastruktur lainnya yang menyangkut fungsi masif, tidak bisa dikerjakan asal-asalan, dan sembarangan.
"Pembangunan jalan tol dan infrastruktur dasar lainnya harus dikerjakan sesuai standard, dan mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku secara umum," tandas Harun.
Pekerjaan infrastruktur yang dibangun secepat kilat hanya akan menyisakan sejumlah masalah, dan risiko yang konsekuensinya biaya tinggi (high maintenance cost). Seperti yang terjadi pada ruas Tol Kanci-Pejagan yang bergelombang tidak mulus, dan Tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang (Cipularang).
Persoalan Tol Cipularang, menurut Harun, sudah sangat struktural. Pasalnya, Tol Cipularang dibangun di atas lahan yang tidak stabil. Sehingga berpotensi mengalami keretakan yang terus meenerus. Selain itu, lapisan semennya di beberapa seksi sangat tipis, terdapat permukaan tanah yang berwarna kecoklat-coklatan.
"Kalau secara struktur saja sudah bermasalah, termasuk perkerasan beton, air yang tidak terkendali akan masuk dan mengalir secara liar. Terlebih jika drainasenya tidak baik. Kerusakan Tol Cipularang, 80 persennya karena faktor-faktor ini. Nah, apakah kemudian Tol Cikapali akan bernasib sama," kata Harun.
Bisnis jalan tol
Harapan pemerintah untuk melakukan percepatan pembangunan infrastruktur dasar termasuk jalan tol, kata Harun, memang patut diapresiasi. Namun, urusan jalan tol tidak hanya masalah mempercepat sehingga pekerjaan teknis dilakukan secara kebut-kebutan tanpa memperhatikan aspek-aspek lainnya.
Urusan jalan tol adalah bisnis "kurus", dan "gemuk", alias bisnis yang diukur dari keuntungan atau profit atau sebaliknya merugi. Karena itu terkait juga dengan ketegasan, dan kejelasan pemerintah. Jika badan usaha milik negara (BUMN), swasta, atau keduanya sudah mendapat konsesi namun secara pertimbangan finansial tidak layak, seharusnya tidak dibangun.
Direktorat Jenderal Bina Marga, melalui Badan Pengatur Jalan tol (BPJT) selaku regulator, kata Harun, dalam hal ini harus menjadi wasit yang independen, dan tegas dalam melakukan pratinjau terhadap proyek yang laik atau tidak dijalankan serta proyek yang kadung terbangun.
"Kalau sudah rusak, macam Tol Kanci-Pejagan, dan Tol Cipularang sebaiknya ditutup saja, jangan difungsikan. Karena implikasinya sangat berbahaya bagi pengguna kendaraan yang melintasinya. Bina Marga dan BPJT jangan melakukan negosiasi-negosiasi yang tidak perlu, konsesi ambil alih," tutur Harun.
Menurut dia, adalah kerja gila membangun jalan tol tanpa memperhatikan aspek finansial. Tol Kanci-Pejagan merupakan salah satu potret dari kerja gila tersebut. Harun pun kemudian mempertanyakan ruas Jalan Tol Trans-Sumatera, Trans-Kalimantan, dan Trans-Sulawesi.
"Jalan tol dibangun jika volume kendaraan atau kasarnya penjualan mobil di suatu daerah mengalami peningkatan tajam. Ruas Manado-Bitung itu sepi. Ini harus disadari oleh investor, tidak semua infrastruktur itu menguntungkan. Apalagi tol antarkota-antarprovinsi di daerah," pungkas Harun.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.